Lompat ke isi

Laut Sawu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Letak Laut Sawu (biru gelap) di dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Laut Sawu adalah sebuah laut dalam yang melingkupi wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Kedalaman Laut Sawu mencapai 4 km dengan tebing-tebing curam di dalam laut. Karena itu, Laut Sawu mengalami fenomena alam yang disebut pembalikan massa air dan setiap hari mengalami pola pasang surut ganda. Laut Sawu dimanfaatkan untuk keperluan perhubungan laut dan perikanan laut.

Laut Sawu memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang melimpah termasuk dua spesies langka seperti paus biru dan paus sperma. Pesisir pantai di sekitar Laut Sawu menjadi lokasi peneluran bagi penyu yang tergolong spesies langka dan spesies terancam menurut Daftar Merah IUCN dan CITES.

Pada tahun 214, Pemerintah Nusa Tenggara Timur telah menetapkan Laut Sawu sebagai Taman Nasional Perairan Laut Sawu. Penetapan ini bertujuan untuk menjadikan Laut Sawu sebagai kawasan konservasi perairan bagi satwa langka dari spesies paus.

Lokasi dan lingkup

[sunting | sunting sumber]

Laut Sawu masuk dalam wilayah Indonesia. Lokasinya berada di sebelah selatan Laut Flores.[1] Ukuran Laut Sawu termasuk sedang dan melingkupi beberapa teluk dan selat terutama Teluk Kupang, Teluk Waingapu, Selat Solor, Selat Lewotobi, Selat Wetar, dan Selat Rote.[2]

Karakteristik perairan

[sunting | sunting sumber]

Kedalaman dan kelimpahan nutrien

[sunting | sunting sumber]

Laut Sawu tergolong sebagai salah satu laut dalam.[3] Kedalaman perairan pada Laut Sawu mencapai 4.000 meter. Di dalam Laut Sawu terdapat ciri umum yaitu adanya bentangan tebing-tebing curam. Kondisi ini membuat perairan di Laut Sawu mengalami fenomena yang disebut pembalikan massa air. Fenomena ini membuat air laut dalam bertukar yang dingin bertukar dengan air permukaan laut yang hangat. Pertukaran ini membawa naik nutrien ke permukaan laut dengan tingkat produktivitas yang tinggi.[4]

Pola pasang surut dan arus laut

[sunting | sunting sumber]

Laut Sawu mengalami pasang surut setiap hari dengan pola ganda. Kondisi pasang dan surut terjadi dua kali dalam sehari. Namun ketinggian pasang dan surut berbeda setiap kali terjadi serta waktu terjadinya tidak menentu.[5] Pasang surut dan tiupan angin menimbulkan arus laut di Laut Sawu. Pada saat pasang, massa air naik di permukaan naik dan bergerak menuju ke utara memasuki perairan Laut Sawu dan melewati pulau-pulau di bagian selatan Laut Sawu. Sebaliknya, bagian laut dalam pada Laut Sawu menimbulkan arus laut menuju ke selatan ketika terjadi surut. Sementara itu, arus laut dari Laut Sawu di sekitar pesisir cenderung menuju ke bagian tenggara Laut Sawu dan menjauh dari pantai.[5]

Perhubungan laut

[sunting | sunting sumber]

Laut Sawu menjadi salah satu yang menjadi jalur masuk ke perairan laut Indonesia.[6] Keberadaan Laut Sawu bersama dengan Selat Sumba telah menjadi perhubungan laut antara pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur.[7] Laut Sawu juga menjadi salah satu jalur lintasan perhubungan laut internasional di Indonesia pada Alur Laut Kepulauan Indonesia ke-III. Alurnya meliputi Samudra Pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu.[8] Pelayaran internasinal yang melewati Laut Sawu menghubungkan antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik secara bolak-balik.[9]

Perikanan laut

[sunting | sunting sumber]

Laut Sawu menjadi bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 573.[10] Sumber daya ikan di dalam Laut Sawu sangat penting bagi sebagian besar wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2014, Laut Sawu menyumbang sekitar 65% sumber daya ikan bagi Provinsi Nusa Tenggara Timur.[11] Sumber perikanan skala kecil yang menyebar di Laut Sawu ialah ikan terbang.[12]

Keanekaragaman hayati

[sunting | sunting sumber]

Keanekaragaman hayati di Laut Sawu sangat tinggi karena memiliki keragaman spesies terumbu karang yang sangat tinggi. Keberadaan beragam terumbu karang menjadi habitat bagi 22 spesies dalam ordo Setasea. Dua spesies setasea yang langka dapat ditemukan di Laut Sawu, yakni paus biru dan paus sperma. Selain itu, pantai-pantai di sekitar Laut Sawu menjadi lokasi peneluran penyu yang termasuk dalam daftar spesies langka dan spesies terancam pada Daftar Merah IUCN dan CITES.[11]

Laut Sawu juga memiliki ekosistem laut dalam pada bagian palung lautnya. Keanekaragaman hayati dalam ekosistem ini hanya sedikit yang diketahui karena lokasinya berada di dasar laut yang kondisinya selalu gelap karena jauh dari permukaan laut.[13]

Konservasi

[sunting | sunting sumber]

Laut Sawu termasuk salah satu kawasan suaka alam laut.[14] Pemerintah Nusa Tenggara Timur telah menjadikan Laut Sawu sebagai kawasan konservasi untuk melindungi satwa langka dari spesies paus. Penetapan Laut Sawu sebagai kawasan konservasi karena paus menjadikannya sebagai salah satu kawasan lalu lintas.[15] Fungsi Laut Sawu sebagai kawasan perikanan membuat Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia menjadikan kawasan konservasi perairan dengan nama Taman Nasional Perairan Laut Sawu (TNP Laut Sawu). Penetapannya melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5/KEPMEN-KP/2014. Luas TNP Laut Sawu ditetapkan seluas 3.355.352,82 hektar. Luas kawasan ini terbagi menjadi wilayah Perairan Selat Sumba dan sekitarnya seluas 557.837,40 hektar dan wilayah Perairan Pulau Timor-Rote-Sabu-Batek dan sekitarnya seluas 2.797.515,42 hektar.[16]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Setiawati, Siti Mutiah (2023). Ummatin, Khoiro, ed. Masalah Perbatasan dalam Politik Luar Negeri Indonesia. Surabaya: CV. Jakad Media Publishing. hlm. 51. ISBN 978-623-468-180-2. 
  2. ^ Sarumpaet, Riris K., ed. (2011). Ilmu Pengetahuan Budaya dan Tanggung Jawabnya. Penerbit Universitas Indonesia. hlm. 32. ISBN 978-979-456-468-4. 
  3. ^ Said, M. Noor (2020). Dinamika Penduduk. Alprin. hlm. 16. ISBN 978-623-263-060-4. 
  4. ^ The Nature Conservancy 2015, hlm. 17.
  5. ^ a b The Nature Conservancy 2015, hlm. 18.
  6. ^ Wahyono S.K. (Juli 2007). Indonesia Negara Maritim. Jakarta Selatan: Penerbit Teraju. hlm. 155. ISBN 978-979-3603-94-0. 
  7. ^ Wuryandari, Ganewati, ed. (November 2014). Pengembangan Wilayah Nusa Tenggara Timur dari Perspektif Sosial: Permasalahan dan Kebijakan. Jakarta: LIPI Press. hlm. 54. ISBN 978-979-799-783-0. 
  8. ^ Umar, Harun (2020). Politik Kebijakan Poros Maritim (PDF). Jakarta Selatan: Lembaga Penerbitan Universitas Nasional. hlm. 229. ISBN 978-623-7376-514. 
  9. ^ Tribawono, Djoko (2013). Hukum Perikanan Indonesia (edisi ke-2). Penerbit PT Citra Aditya Bakti. hlm. 56–57. ISBN 978-979-491-031-3. Ringkasan. 
  10. ^ Yulianingsih, Indra (Desember 2021). Hukum Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI): Kerangka Hukum Mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Surabaya: Scopindo Media Pustaka. hlm. 61. ISBN 978-623-365-181-3. 
  11. ^ a b Hidayat, dkk. 2015, hlm. 1-2.
  12. ^ Syaekhu, A., dan Hanis, H. (Maret 2022). Strategi Pengembangan Kearifan Lokal Masyarakat Patorani Desa Tamalate, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar. Sleman: Zahir Publishing. hlm. 24–25. ISBN 978-623-466-008-1. 
  13. ^ Sastrapradja, Setijati (Oktober 2010). Memupuk Kehidupan di Nusantara. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 97. ISBN 978-602-433-212-9. 
  14. ^ Supriadi, A., dkk. (Desember 2017). Kajian Dampak Hilirisasi Mangan terhadap Perekonomian Regional (PDF). Jakarta: Pusat Data dan Teknologi Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. hlm. 63. 
  15. ^ Lelaona, Yohanes Antonius (2016). Dari Lautan Menuju Tuhan. Sleman: Penerbit PT Kanisius. hlm. 60. ISBN 978-979-21-4595-3. 
  16. ^ Hidayat, dkk. 2015, hlm. 2.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]