,

Pikiran Quotes

Quotes tagged as "pikiran" Showing 1-30 of 30
Pramoedya Ananta Toer
“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.”
Pramoedya Ananta Toer

Goenawan Mohamad
“Saya harap saya bisa melatih keberanian bicara dengan melatih keberanian bertanya: benarkah pikiran dan dugaan-dugaan saya sendiri?”
Goenawan Mohamad, Pagi dan Hal-Hal yang Dipungut Kembali

Maggie Tiojakin
“Penulis fiksi tidak bisa menyimpan rahasia. Untuk menyampaikan pesan kepada orang lain, seorang penulis harus bisa membuka dirinya - seluas dan sedalam mungkin - untuk dicela, dicemooh dan dilihat orang. Ini resiko profesi. Fiksi adalah bentuk tulisan paling jujur yang akan pernah kau temui. Imajinasi adalah manifestasi pikiran, iman, serta ketakutan. Tiga hal yang membentuk pribadi manusia. Tanpa imajinasi, kita - penulis - tidak punya apa-apa. ~ Winter Dreams”
Maggie Tiojakin

Goenawan Mohamad
“Ada sesuatu yang bukan hasil "pikiran", "perasaan", dan "ajaran agama" yang membuat orang berbuat baik untuk orang lain di dunia.”
Goenawan Mohamad, Pagi dan Hal-Hal yang Dipungut Kembali

Masanobu Fukuoka
“bukannya teknik bertanam yang merupakan faktor yang paling penting, melainkan lebih kepada pikiran petaninya.”
Masanobu Fukuoka, The One-Straw Revolution

“Aku harus apa? Menjejalkan tentangku dipikiranmu secara paksa ?!”
elya

Vinca Callista
“Seorang perempuan yang jatuh cinta, kadang punya tujuan yang ingin direngkuhnya. Namun, ternyata proses mewujudkannya terasa lebih menyenangkan ketika hanya dibayangkan. Karena, ada dua versi dari orang yang dicintainya; sosok asli dengan karakter pribadinya, dan sosoknya dengan karakter yang si perempuan ciptakan sesuka hati. Maka, banyak orang yang kecewa dengan karakter asli pasangannya, sebab membandingkannya dengan versi pikirannya sendiri.”
Vinca Callista, Kilah

“Lebih baik tertidur daripada tidak berpikir sama sekali”
Martin SItumorang

“Akal pikiran Maharaja Dunia, Allah Maharaja Bumi dan Langitnya.”
Gatot Soedarto

Vinca Callista
“Ternyata, kita lebih sering mencintai pikiran kita tentang seseorang, daripada orangnya sendiri.”
Vinca Callista, Kilah

Vinca Callista
“Pada dasarnya, manusia kan mencintai dirinya sendiri. Tahu mitos soal 'kalau mukanya mirip berarti jodoh', dan suami-istri biasanya berwajah mirip? Mitos itu cuma cara masyarakat untuk berkilah dari pengakuan bahwa mereka mencintai dirinya sendiri, atau itu dorongan dari alam bawah sadar mereka. Aku rasa, itu terjadi karena setiap orang terlalu mencintai dirinya sendiri. Makanya dia bakal merasa cocok sama orang lain yang serupa sama dia. Wajahnya serupa, kelakuannya serupa—semua mengacu pada dirinya sendiri.”
Vinca Callista, Kilah

Vinca Callista
“Kita tuh selalu jadi manusia yang terpisah dari manusia lain. Artinya, kita bisa nentuin sendiri apa yang mau kita lakuin, enggak mesti terkekang sama izin dari orang lain yang bahkan enggak paham apa tujuan kita ngelakuin itu. Kebahagiaan kita tersembunyi di balik itu, tapi orang lain ngelihatnya cuma dari permukaan—cuma dari apa yang mereka mau lihat.”
Vinca Callista, Kilah

Vinca Callista
“Kita bisa dapat apa yang enggak kita punya dengan melamun. Ada hasrat yang lebih sempurna kalau dilakukan dalam khayalan. Fantasi menyelamatkan kita. Fantasi lebih pantas untuk sering dihidupkan—dalam pikiran kita.”
Vinca Callista, Kilah

“Terkadang memang ada satu atau dua hal yang memaksa kita berpikir untuk tidak berpikir sekali lagi.”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)

Titon Rahmawan
“Selalu ada cara lain untuk menafsirkan kebahagiaan," begitu katamu.
Seperti mengisi kanvas yang kosong dengan kepenuhan imajinasi, dan membiarkan khayalan bergerak serupa gambar yang hidup di dalam pikiran. Seperti menemukan sebuah kata yang tepat untuk mengawali sebuah puisi. Selalu ada euforia serupa itu yang ingin kau ciptakan dari gairah dan riuh rendah suara bising yang terdengar di dalam benak semua orang.

Sudah lama aku curiga, kau bisa menebak apa yang orang lain inginkan hanya dengan membaca gelagat dan ekspresi wajah mereka. Mencoba membuktikan, bahwa waktu tidak cuma menciptakan kekacauan dan kegaduhan. Ia bisa juga menghadirkan semacam kegembiraan walau mungkin semu. Seperti kisah tentang bunga mawar yang tumbuh di tepi jalan yang pernah aku ceritakan kepadamu. Tapi tak semua orang mau menerima realitas seperti itu. Mereka selalu menemukan cara untuk menilai orang lain dengan caranya sendiri.

Kebanyakan orang terlalu sibuk dengan kerumitan pikiran yang hilir mudik setiap hari. Mereka tak menghiraukan hal lain selain kepuasan diri. Mereka tak pernah mau mengerti, bahwa kegembiraan kecil tidak selalu harus dimulai dari diri sendiri. Ini seperti melihat dunia dengan sebuah kaca pembesar. Dunia yang retak dan jauh dari kata sempurna. Dunia yang sering absurd dan kadang membingungkan.

Tapi kita tidak punya hak untuk mencemooh orang lain dengan cara konyol seperti itu. Dunia yang kita kenal sudah terlampau sering membiarkan orang membuat penilaian lewat satu satunya pandangan dari apa yang ingin mereka percayai. Tak bisa membedakan api dari asap, panas, nyala dan cahaya yang dihasilkannya. Bukankah satu satunya hal yang bisa kita yakini di dunia yang centang perenang ini adalah sebuah kemustahilan?

Akan tetapi, bagaimana kita bisa melihat dunia dengan kacamata ambiguitas? Ketika kita menyadari, bahwa realitas tak lebih dari sebuah fatamorgana. Dan ilusi, adalah kenyataan hidup kita sehari hari. Bagaimana kita bisa menyandarkan diri pada sebuah asumsi untuk mampu mencerna apa yang sesungguhnya tidak kita ketahui? Bagaimana kita bisa memastikan, apa yang tidak pernah kita pahami sebagai buah dari pohon pengetahuan? Bahwa kebaikan dan keburukan adalah hasrat yang terlahir dari rasa ingin tahu manusia.

Hanya saja, pikiran kita ingin menelan semuanya sendirian. Kerakusan yang membuat manusia kerasukan oleh ego dan ambisi yang membutakan dirinya sendiri. Kerasukan yang pada akhirnya . menciptakan kerusakan. Apa yang bisa memenuhi diri kita dengan pengetahuan yang serba sedikit tentang makna kebenaran yang kita cari selama ini? Bagaimana kita mampu mengidentifikasi kebenaran yang tidak pernah kita kenal? Bukankah tuhan tak mungkin hadir dalam setitik keraguanmu? Apa yang tidak engkau pahami sebagai sebuah paradoks, tidak punya nilai apa pun dibanding dengan kegamangan dan kebodohan dirimu sendiri.

Sementara kita masih saja jumawa, dengan kepala dipenuhi oleh hasrat dan juga kesombongan. Dan terus menerus melahirkan ilusi ilusi semu dari pikiran pikiran hampa yang hanya akan mengelabui manusia dengan kepalsuan sejarah. Sejarah yang diam diam kita rekayasa sendiri. Sejarah yang tidak pernah mengenal makna kesejatian. Sejarah yang mengubur peradaban manusia dengan semacam orgasme palsu, yang anehnya terlanjur kita dewa dewakan sebagai satu satunya kebenaran.”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Tak ada yang perlu disesali dari apa yang pernah hadir di dalam hidup. Awan kelabu, hujan dan airmata.

Ia yang kautafsir sebagai rindu
dan mungkin cinta.

Semua kata-kata yang terangkum dari seluruh perjalanan waktu.

Seluruh kisah yang menamatkan semua momen dan peristiwa.

Yang sedih ataupun yang gembira. Yang mendatangkan tangis haru dan juga tawa.

Semua perasaan yang menggugah hati dan lalu kita abadikan jadi puisi.

Semua impresi, kesan, memori, kenangan atau apa pun yang menghubungkan kita dengan seseorang.

Ingatan yang tak pernah pergi.

Bagaimana kita sematkan arti kebahagiaan pada hati yang masih menaruh harapan.

Sekecil apapun itu.
Ia tak pernah sia-sia.”
Titon Rahmawan

Ayu Welirang
“Saya pikir, kau tak perlu merasa sepi, sebab banyak hal yang bisa kau munculkan dari dalam pikiranmu sendiri.”
Ayu Welirang, Rumah Kremasi: Kumpulan Cerita Pendek

“Semua bagian tubuh kita punya kekuatan tersendiri. Terutama, pikiran. Dengan pikiran yang jernih kita bisa menemukan banyak senjata yang bisa kita gunakan. Kedamaian batin, itulah senjata utama kita.”
Maisie Junardy, Man's Defender

“Mungkin kata 'bakat atau minat' terlalu kaku untuk menyebut sesuatu yang membuat kita rela menghabiskan waktu dan pikiran kita, tapi tetap menyenangkan untuk dilakukan”
Achmad Aditya Avery

Mehmet Murat ildan
“Awan di langit sangat menyerupai pikiran kita! Dua-duanya berubah terus-menerus dari satu detik ke yang lain.”
Mehmet Murat ildan

“Pikiran adalah bagian diri yang kuat. Ia sulit untuk dilawan sekalipun orang lain telah mengatakan bahwa pikiran itu tidak benar.”
Pijar Psikologi, Yang Belum Usai: Kenapa Manusia Punya Luka Batin?

Titon Rahmawan
“Kunci dari komunikasi bukan sebatas dalam kemampuan kita untuk mendengarkan. Kunci dari komunikasi adalah memberikan perhatian. Sebab pendengar yang baik itu tidak sekedar mau mendengarkan tapi mengabaikan hal hal penting lainnya.

Sebaliknya, memberikan perhatian butuh pemusatan pikiran, ungkapan rasa empati, kepedulian, dan sekaligus kesediaan kita untuk mendengarkan apa yang diucapkan orang lain dan memberikan respon yang tepat.”
Titon Rahmawan

Toba Beta
“Mata adalah kamera, akal budi yang melihat.”
Toba Beta, Master of Stupidity

Nailal Fahmi
“Ia lebih mengkhawatirkan pikiran-pikiran dalam kepalanya yang menabrak norma. Semua manusia punya pikiran itu. Ia, Ridwan, Sali dan semua orang punya pikiran itu. Pikiran jahat atau pikiran-pikiran yang jika dilakukan dalam kehidupan nyata, maka sudah pasti akan melanggar norma atau moral yang ada dalam masyarakat. Selama itu hanya ada dalam pikiran, tidak diucapkan atau dilakukan, maka ia akan tetap aman dalam pikiran. Manusia punya kecenderungan memiliki pikiran-pikiran itu. Semua manusia.”
Nailal Fahmi, Jalan Panjang yang Berangin

Nailal Fahmi
“Seseorang bisa saja pergi sejauh mungkin sampai ke ujung dunia, namun itu tidak membuatnya lepas dari pikirannya sendiri.”
Nailal Fahmi, Jalan Panjang yang Berangin

Titon Rahmawan
“Kita tidak harus selalu hidup seperti apa yang kita pikirkan. Kita hanya perlu menerima apa yang kita mampu dan mengupayakan apa yang terbaik. Setelah itu, serahkan sisanya kepada semesta.”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Dirimu bukan selalu apa yang kamu pikirkan. Sebab pikiran, tidak selalu mefleksikan diri kita yang sesungguhnya. Semua orang selalu berharap untuk melihat sesuatu yang sempurna dan tanpa cela. Namun cermin seringkali justru menipu.”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Tahu mengapa;

bayangan mantan
jadi beban
yang tak bisa
lepas
dari
pikiran?”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Cinta

kalau memang ia
punya pikiran
dan perasaan

kalau benar saja
ia punya hidung, mata
mulut dan telinga

lalu mengapa, ia
masih saja bisa
terpeleset dan jatuh
di lobang yang sama?”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Seseorang telah menukar lembar pertama dari kehidupannya dengan ingatan yang terbakar dan tak mungkin dikenali.

Seseorang telah kehilangan jati dirinya di jalan dan tak lagi bisa pulang ke rumah.

Sudah beribu kisah semacam itu yang mewarnai keseharian kita dan tak membuat kita bergeming.

Kita terlalu sibuk dengan kesibukan itu sendiri. Kita tak bisa lagi membedakan warna kulit kita dari ingatan yang telah lapuk termakan cuaca.

Kita telah menjadi seorang pendengki yang membenci segala sesuatu. Kita menjadi amat pemarah, bahkan kepada orang-orang yang dulu pernah kita cintai.

Kita telah terperangkap dalam labirin yang lebih rumit dari pikiran yang kusut oleh carut-marut kehidupan, rumah yang tak memiliki pintu masuk atau jendela tertutup yang tak pernah menerima cahaya.

Kita telah menjadi saling asing dengan diri sendiri dan juga tetangga. Jalan-jalan menuju desa tertutup alang-alang liar. Kampung tak lagi berpenghuni. Perigi dan sumur telah lama membatu. Pasar-pasar telanjur lengang dari pengunjung dan sekolah-sekolah dibubarkan karena kehilangan murid-muridnya.

Pikiran kita menjelma semak belukar yang dipenuhi onak berduri. Entah sampai berapa lama kita bakal terperangkap dan terkurung di dalamnya?”
Titon Rahmawan