Tumpang sari adalah suatu bentuk pertanaman campuran (polyculture) berupa pelibatan dua jenis atau lebih tanaman pada satu areal lahan tanam dalam waktu yang bersamaan atau agak bersamaan. Tumpang sari yang umum dilakukan adalah penanaman dalam waktu yang hampir bersamaan untuk dua jenis tanaman budidaya yang sama, seperti jagung dan kedelai, atau jagung dan kacang tanah. Dalam kepustakaan, hal ini dikenal sebagai double-cropping. Penanaman yang dilakukan segera setelah tanaman pertama dipanen (seperti jagung dan kedelai atau jagung dan kacang panjang) dikenal sebagai tumpang gilir (relay cropping).

Tumpang sela cabai di antara pertanaman pepaya.

Tumpang sari dapat pula dilakukan pada pertanaman tunggal (monokultur) suatu tanaman perkebunan besar atau tanaman kehutanan sewaktu tanaman pokok masih kecil atau belum produktif. Hal ini dikenal sebagai tumpang sela (intercropping). Jagung atau kedelai biasanya adalah tanaman sela yang dipilih.

Sistem budidaya surjan, suatu bentuk kearifan lokal dari Yogyakarta selatan, juga dapat digolongkan sebagai tumpang sari.

Konsep serupa tumpang sari dapat diperluas dalam kelas usaha tani lain. Dalam kehutanan, kombinasi pertanaman antara tanaman semusim dengan pohon hutan dikenal sebagai wana tani. Suatu konsep serupa juga diterapkan bagi budidaya padi dan ikan air tawar pada lahan sawah yang dikenal sebagai mina padi.

Pola penanaman tumpang sari dapat memaksimalkan lahan dibandingkan pola monokultur karena:

  1. Hasil panen pada lahan tidak luas bisa beberapa kali dengan usia panen dan jenis tanaman berbeda,
  2. petani mendapat hasil jual yang saling menguntungkan atau menggantikan dari tiap jenis tanaman berbeda dan,
  3. risiko kerugian dapat ditekan karena terbagi pada setiap tanaman.

Penggunaan pupuk majemuk dalam tumpang sari lebih menguntungkan karena:

  • lebih murah dibandingkan dengan pupuk tunggal dan,
  • pemakaiannya sekali.

Namun sistem teknologi model tersebut masih sedikit orang yang melaksanakannya.

Pranala luar

sunting