Sejarah Belanda

Sejarah bangsa Belanda

Sejarah Negeri Belanda adalah sejarah bangsa maritim yang tumbuh dan berkembang di daerah tanah rendah delta sungai yang bermuara ke Laut Utara di kawasan barat laut benua Eropa. Catatan sejarah Negeri Belanda bermula dengan kurun waktu empat abad manakala daerah ini menjadi perbatasan wilayah Kekaisaran Romawi yang dijaga militer. Daerah perbatasan ini kian lama kian terdesak serbuan suku-suku rumpun Jermanik yang berpindah ke arah barat. Seiring runtuhnya Kekaisaran Romawi dan bermulanya Abad Pertengahan, tiga suku terbesar dari rumpun bangsa Jermanik tampil menguasai daerah ini, yakni orang Frisia di sebelah utara serta kawasan pesisir, orang Saksen Hilir di sebelah timur laut, dan orang Franka di sebelah selatan.

Pada Abad Pertengahan, wangsa Karoling berhasil menguasai daerah ini, dan memperluas wilayah kekuasaan mereka hingga mencakup hampir seluruh kawasan barat Eropa. Negeri Belanda kala itu merupakan bagian dari Kadipaten Lotharingia Hilir di dalam wilayah Kekaisaran Romawi Suci yang didirikan dan diperintah orang Franka. Selama beberapa abad, Negeri Belanda terbagi-bagi menjadi sejumlah swapraja feodal, antara lain Brabant, Holland, Zeeland, Friesland, dan Gelre, dengan garis perbatasan yang terus-menerus berubah. Belum ada wilayah kesatuan yang setara dengan wilayah negara Belanda sekarang ini.

Pada 1433, Adipati Burgundia berhasil menguasai seluruh daerah tanah rendah di Kadipaten Lotharingia Hilir, dan mendirikan swapraja Negeri Belanda Burgundia. Wilayah swapraja ini meliputi kawasan yang sekarang menjadi wilayah Negeri Belanda, Belgia, Luksemburg, dan sebagian Prancis.

Raja-raja Spanyol yang beragama Katolik menindak keras penyebaran agama Kristen Protestan, yang menimbulkan perseteruan antarkelompok masyarakat di dua kawasan yang kini menjadi wilayah negara Belgia dan daerah Holland di Negeri Belanda. Pemberontakan rakyat Belanda yang berkobar sesudahnya mengakibatkan swapraja Negeri Belanda Burgundia pecah menjadi Negeri Belanda Spanyol dan Perserikatan Provinsi-Provinsi. Negeri Belanda Spanyol adalah wilayah di sebelah selatan yang warganya memeluk agama Kristen Katolik dan menuturkan bahasa Prancis maupun bahasa Belanda (kurang lebih meliputi wilayah negara Belgia dan negara Luksemburg sekarang ini), sementara Perserikatan Provinsi-Provinsi adalah wilayah di sebelah utara yang mayoritas warganya beragama Kristen Protestan dan hanya sedikit yang beragama Kristen Katolik penutur bahasa Belanda. Wilayah Perserikatan Provinsi-Provinsi inilah yang menjadi cikal bakal Negeri Belanda modern.

Pada Zaman Keemasan Negeri Belanda yang mencapai puncaknya sekitar tahun 1667, terjadi perkembangan di bidang usaha dagang, industri, seni rupa, dan ilmu pengetahuan. Negari Belanda berkembang menjadi sebuah imperium makmur yang menguasai koloni-koloni di berbagai pelosok dunia, dan Kongsi Hindia Timur atau Kompeni Belanda muncul sebagai salah satu perusahaan dagang nasional tertua dan terpenting yang berasaskan kewirausahaan dan usaha dagang.

Pada abad ke-18, kedigdayaan dan kemakmuran Negeri Belanda merosot. Negara ini melemah akibat berulang kali berperang melawan negara-negara tetangga yang lebih kuat, yakni Inggris dan Prancis. Kerajaan Inggris merebut Nieuw Amsterdam, koloni Belanda di Amerika Utara, dan mengganti namanya menjadi New York. Kerusuhan dan perseteruan sengit timbul di antara kaum pendukung Willem van Oranje dan kaum Patriot. Revolusi Prancis merembet sampai ke Negeri Belanda selepas tahun 1789, dan bermuara pada pembentukan negara Republik Batavia pada tahun 1795. Napoleon menjadikan Republik Batavia sebagai salah satu negara satelit Prancis dengan nama Kerajaan Holland pada tahun 1806, namun kemudian hari hanya menjadi salah satu provinsi Kekaisaran Prancis.

Setelah rezim Napoleon tumbang pada kurun waktu 1813–1815, berdiri Kerajaan Belanda Serikat dengan wilayah yang diperluas, dan diperintah wangsa Oranje selaku kepala monarki yang juga berdaulat atas Belgia dan Luksemburg. Raja Belanda menerapkan pembaharuan-pembaharuan ala Kristen Protestan secara paksa di Belgia, sehingga rakyat Belgia bangkit memberontak pada tahun 1830, dan akhirnya merdeka pada tahun 1839. Setelah beberapa waktu tunduk pada pemerintah yang berhaluan konservatif, Negeri Belanda menjadi negara demokrasi parlementer yang dikepalai seorang kepala monarki konstitusional berdasarkan konstitusi tahun 1848. Negara Luksemburg modern secara resmi merdeka dari Negeri Belanda pada tahun 1839, namun masih mengakui Raja Belanda sebagai kepala negara sampai dengan tahun 1890. Mulai dari 1890, jabatan kepala negara Luksemburg beralih ke cabang lain dari wangsa Nassau.

Negeri Belanda bersikap netral pada Perang Dunia I, tetapi tetap saja diserbu dan diduduki Jerman Nazi pada Perang Dunia II. Jerman Nazi beserta antek-anteknya menciduk dan membunuh hampir semua warga Yahudi Belanda (yang paling terkenal adalah Anne Frank). Manakala perlawanan rakyat Belanda semakin sengit, Jerman Nazi menghambat pasokan pangan ke daerah-daerah, sehingga menimbulkan bencana kelaparan dahsyat pada kurun waktu 1944–1945. Pada tahun 1942, Hindia Belanda direbut Jepang, tetapi orang-orang Belanda sudah lebih dahulu menghancurkan sumur-sumur minyak yang sangat dibutuhkan Jepang. Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945. Suriname mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 1975. Pada tahun-tahun pascaperang, Negeri Belanda mengalami pemulihan ekonomi (berkat penerapan Rencana Marshall yang dicetuskan Amerika Serikat), dan selanjutnya menerapkan konsep negara berkesejahteraan pada kurun waktu yang aman dan makmur. Negeri Belanda membentuk persekutuan baru di bidang ekonomi dengan Belgia dan Luksemburg, yang dinamakan Uni Beneluks. Ketiga negara ini kelak menjadi anggota pendiri Uni Eropa dan NATO. Pada beberapa dasawarsa terakhir ini, ekonomi Negeri Belanda telah terjalin rapat dengan ekonomi negara Jerman, dan kini sangat makmur.

Prasejarah (sebelum 800 SM)

sunting

Perubahan-perubahan bersejarah atas bentang alam

sunting

Prasejarah kawasan yang kini menjadi Negeri Belanda lebih banyak dipengaruhi letak geografinya yang rendah dan terus-menerus berubah.

 
Negeri Belanda pada 5500 SM
 
Negeri Belanda pada 3850 SM
 
Negeri Belanda pada 2750 SM
 
Negeri Belanda pada 500 SM
 
Negeri Belanda pada 50 M
  Gisik dan gumuk
  Dataran endapan pasir akibat pasang surut, dataran endapan lumpur akibat pasang surut, rawa asin
  Rawa gambut dan daerah lanau dataran banjir
(termasuk alur sungai tua dan celah di tepian sungai yang sudah terisi lanau atau gambut)
  Lembah-lembah sungai utama (tidak tertutup gambut)
  Gumuk sungai (gumuk Pleistosen)
  Perairan terbuka (laut, laguna, sungai)
  Bentang alam Pleistosen (> -6 m dibandingkan dengan NAP)
  Bentang alam Pleistosen ( -6 m – 0 m)
  Bentang alam Pleistosen ( 0 m – 10 m)
  Bentang alam Pleistosen ( 10 m – 20 m)
  Bentang alam Pleistosen ( 20 m – 50 m)
  Bentang alam Pleistosen ( 50 m – 100 m)
  Bentang alam Pleistosen ( 100 m – 200 m)

Kelompok masyarakat pemburu-peramu tertua (sebelum 5000 SM)

sunting
 
Arca kecil dari kayu ek setinggi 125 cm (49,2 inci), ditemukan di Willemstad, Negeri Belanda. Diperkirakan dibuat sekitar tahun 4500 SM. Terpajang di Rijksmuseum van Oudheden, Leiden.

Kawasan yang kini menjadi Negeri Belanda sudah dihuni manusia purba sekurang-kurangnya pada 37.000 tahun yang lampau, terbukti dari penemuan alat-alat yang terbuat dari batu api di Woerden pada 2010.[1] Pada 2009, sisa-sisa sebuah tengkorak manusia Neanderthal berumur 40.000 tahun ditemukan dalam kegiatan pengerukan pasir dari dasar Laut Utara di perairan lepas pantai Zeeland.[2]

Pada Zaman Es terakhir, Negeri Belanda merupakan daerah beriklim tundra dengan vegetasi yang jarang, dan penduduknya bertahan hidup dengan bermata pencaharian sebagai pemburu-peramu. Selepas Zaman Es, Negeri Belanda didiami pelbagai kelompok masyarakat berkebudayaan Batu Tua. Diketahui bahwa sekitar tahun 8000 SM, sekelompok masyarakat berkebudayaan Batu Madya bermukim di dekat Bergumermeer (Friesland). Sekelompok masyarakat yang bermukim di tempat lain diketahui sudah pandai membuat perahu. Perahu Pesse adalah perahu tertua di dunia yang ditemukan di Negeri Belanda.[3][4] Berdasarkan analisis penentuan umur C14, perahu ini dibuat pada kurun waktu 8200–7600 SM.[4] Perahu Pesse kini terpajang di Museum Drents di Assen.

Masyarakat pribumi pemburu-peramu berkebudayaan Swifterbant terbukti sudah berdiam di Negeri Belanda sejak sekitar 5600 SM.[5] Kebudayaan ini berkaitan erat dengan sungai-sungai dan perairan terbuka serta masih berkerabat dengan kebudayaan Ertebølle (5300–4000 SM) di kawasan selatan Skandinavia. Di kawasan barat Negeri Belanda, suku-suku pengusung kebudayaan yang sama boleh jadi sudah mendirikan pondok-pondok perburuan untuk keperluan berburu selama musim dingin, termasuk berburu anjing laut.

Kedatangan budaya bercocok tanam (sekitar 5000–4000 SM)

sunting

Kepandaian bercocok tanam masuk ke Negeri Belanda sekitar 5000 SM bersama kebudayaan Tembikar Linear, yang mungkin dibawa masyarakat-masyarakat tani dari kawasan tengah Eropa. Kegiatan bercocok tanam hanya dilakukan di dataran tinggi löss (tanah hasil endapan debu yang terbawa angin) di pelosok selatan Negeri Belanda (kawasan selatan Limburg), namun bahkan di tempat itu pun praktik bercocok tanam tidak bertahan lama. Lahan-lahan usaha tani tidak berkembang di semua daerah lain di Negeri Belanda.

Ada pula sejumlah jejak keberadaan permukiman-permukiman kecil yang tersebar di seluruh Negeri Belanda. Para pemukim di negeri ini mulai beternak antara 4800 SM dan 4500 SM. Arkeolog Belanda, Leendert Louwe Kooijmans, menulis bahwa "semakin lama semakin jelas bahwasanya transformasi bercocok tanam dari komunitas-komunitas prasejarah merupakan suatu proses yang sepenuhnya alamiah dan berlangsung sangat lamban."[5] Transformasi ini terjadi seawal-awalnya pada 4300 SM–4000 SM,[6] dan melibatkan pengenalan biji-bijian dalam jumlah kecil ke dalam spektrum perekonomian tradisional yang luas.[7]

Kebudayaan Bejana Corong dan kebudayaan-kebudayaan lainnya (sekitar 4000–3000 SM)

sunting
 
Hunebed D27, dolmen terbesar di Negeri Belanda, berlokasi di dekat Desa Borger, Provinsi Drenthe.

Kebudayaan Bejana Corong adalah sebuah kebudayaan tani yang berkembang mulai dari Denmark melewati Jerman sampai ke kawasan utara Negeri Belanda. Pada kurun waktu dalam prasejarah Negeri Belanda ini, didirikan peninggalan-peninggalan menonjol yang pertama, yakni dolmen-dolmen, monumen-monumen makam dari batu berukuran besar. Dolmen-dolmen ini ditemukan di Provinsi Drenthe, dan mungkin sekali didirikan antara 4100 SM dan 3200 SM.

Di kawasan barat, kebudayaan Vlaardingen (sekitar 2600 SM), yang tampaknya merupakan sebuah kebudayaan pemburu-peramu yang lebih primitif, terus bertahan hidup sampai memasuki Zaman Batu Muda.

Kebudayaan Gerabah Dawai dan kebudayaan Bejana Genta (sekitar 3000–2000 SM)

sunting

Sekitar 2950 SM, terjadi peralihan dari kebudayaan tani Bejana Corong ke kebudayaan gembala Bejana Dawai, sebuah ruang lingkup arkeologi yang luas muncul di kawasan barat dan tengah Eropa, yang dihubung-hubungkan dengan perkembangan rumpun bahasa India-Eropa. Peralihan ini mungkin sekali merupakan dampak dari perkembangan-perkembangan di kawasan timur Jerman, dan berlangsung dalam dua generasi.[8]

Kebudayaan Bejana Genta juga berkembang di Negeri Belanda.[9][10]

Kebudayaan Bejana Dawai dan kebudayaan Bejana Genta bukanlah kebudayaan asli Negeri Belanda namun pada hakikatnya merupakan kebudayaan-kebudayaan lintas Eropa yang berkembang di hampir seluruh kawasan utara dan tengah Eropa.

Bukti pertama penggunaan roda berasal dari kurun waktu ini, yakni sekitar 2400 SM. Kebudayaan ini juga mulai mencoba-coba mengolah tembaga. Bukti-bukti mengenai perkembangan ini meliputi paron-paron batu, pisau-pisau tembaga, dan sebilah mata tombak tembaga yang ditemukan di Veluwe. Temuan-temuan peralatan tembaga menunjukkan bahwa kala itu sudah ada hubungan dagang dengan kawasan-kawasan lain di Eropa karena tanah Negeri Belanda tidak mengandung tembaga.

Zaman Perunggu (sekitar 2000–800 SM)

sunting
 
Sarana upacara dari perunggu (bukan pedang, namun disebut "Pedang Jutphaas"), diperkirakan berasal dari 1800–1500 SM dan ditemukan di kawasan selatan Utrecht.

Zaman Perunggu mungkin sekali bermula sekitar 2000 SM dan berakhir sekitar 800 SM. Alat-alat perunggu tertua ditemukan di sebuah makam pribadi dari Zaman Perunggu yang disebut makam "Pandai Logam Wageningen". Lebih banyak lagi benda Zaman Perunggu dari masa-masa yang lebih kemudian telah ditemukan di Epe, Drouwen, dan daerah-daerah lain. Kepingan benda-benda perunggu yang ditemukan di Voorschoten tampaknya disiapkan untuk didaur ulang. Kegiatan daur ulang menunjukkan betapa berharganya perunggu bagi masyarakat Zaman Perunggu. Benda-benda perunggu yang lumrah dari kurun waktu ini meliputi pisau, pedang, kapak, fibula (peniti), dan gelang tangan.

 
Lokasi kebudayaan Elp dan kebudayaan Hilversum pada Zaman Perunggu.

Sebagian besar benda peninggalan Zaman Perunggu di Negeri Belanda ditemukan di Drenthe. Salah satu jenis dari benda-benda peninggalan ini menunjukkan bahwa jaringan dagang pada kurun waktu ini sudah membentang sampai ke tempat-tempat yang jauh, yakni sejumlah situlae (ember) perunggu berukuran besar hasil temuan di Drenthe yang agaknya dibuat di kawasan timur Prancis atau di Swiss. Benda-benda ini digunakan sebagai wadah untuk mencampur minuman anggur dengan air (adat Romawi/Yunani). Banyaknya barang temuan di Drenthe yang berupa barang-barang langka dan bernilai tinggi, misalnya beberapa untai kalung manik-manik timah, menyiratkan bahwa Drenthe merupakan sebuah pusat dagang di Negeri Belanda pada Zaman Perunggu.

Masyarakat-masyarakat pribumi berkebudayaan Bejana Genta (2700–2100 SM) berkembang menjadi masyarakat-masyarakat berkebudayaan Bejana Kawat Duri (2100–1800 SM). Pada milenium kedua SM, Negeri Belanda merupakan daerah perbatasan antara kawasan berkebudayaan Zaman Perunggu Atlantik dan kawasan berkebudayaan Zaman Perunggu Nordik, dan terbagi menjadi wilayah utara dan wilayah selatan yang dipisahkan aliran Sungai Rhein.

Di wilayah utara, berkembang kebudayaan Elp (sekitar 1800–800 SM),[11] yakni kebudayaan arkeologi Zaman Perunggu yang ditandai pembuatan tembikar gerabah bermutu rendah yang disebut "Kümmerkeramik" (atau "Grobkeramik"). Tahap permulaan dari kurun waktu perkembangan kebudayaan Elp bercirikan tumuli atau gundukan-gundukan makam (1800–1200 SM) yang berkaitan erat dengan tumuli semasa di kawasan utara Jerman serta Skandinavia, dan tampaknya masih berkerabat dengan kebudayaan Tumulus (1600–1200 SM) di kawasan tengah Eropa. Tahap permulaan ini disusul tahap perkembangan berikutnya yang bercirikan adat penguburan kebudayaan Padang Tempayan atau adat kremasi (1200–800 SM). Wilayah selatan didominasi kebudayaan Hilversum (1800–800 M), yang tampaknya mewarisi keterkaitan budaya dengan Britania dari kebudayaan Bejana Kawat Duri sebelumnya.

Zaman pra-Romawi (800 SM – 58 SM)

sunting

Zaman Besi

sunting
 
Rekonstruksi tempat tinggal Zaman Besi di Reijntjesveld, dekat Desa Orvelte, Provinsi Drenthe.
 
Pedang besi lengkung asli dari Vorstengraf, Oss, tersimpan di Rijksmuseum van Oudheden.

Zaman Besi mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat yang bermukim di Negeri Belanda. Bijih besi terdapat di seluruh pelosok Negeri Belanda, termasuk besi rawa gambut yang diekstrasi dari bijih di daerah rawa gambut (moeras ijzererts) di kawasan utara Negeri Belanda, bola-bola berkandungan besi alami yang ditemukan di Veluwe, dan bijih besi merah dekat sungai-sungai di Brabant. Para pandai logam berkelana dari satu permukiman kecil ke permukiman kecil lainnya dengan membawa serta perunggu dan besi untuk ditempa menjadi alat-alat berdasarkan pesanan, yakni kapak, pisau, jarum peniti, mata panah, dan pedang. Beberapa temuan bahkan menyiratkan bahwa para pandai logam ini sudah pandai pula membuat pedang berbahan baja Damaskus dengan menggunakan metode penempaan yang sudah lebih maju sehingga mampu memadukan kelenturan besi dengan kekuatan baja.

Di Oss, sebuah makam yang diperkirakan berasal dari tahun 500 SM ditemukan di dalam sebuah gundukan makam selebar 52 meter (gundukan makam terbesar di kawasan barat Eropa). Makam yang dijuluki "kubur raja" (Vorstengraf) ini berisi benda-benda yang luar biasa, antara lain sebilah pedang besi bertatahkan emas dan batu koral.

Pada abad-abad menjelang kedatangan bangsa Romawi, wilayah utara yang dahulu dihuni masyarakat berkebudayaan Elp berkembang menjadi masyarakat yang mungkin sekali berkebudayaan Jermanik Harpstedt,[12] sementara wilayah selatan dipengaruhi kebudayaan Hallstatt dan berasimilasi ke dalam kebudayaan Keltik La Tène. Suku-suku rumpun Jermanik yang berpindah ke arah selatan dan barat, serta kebudayaan Hallstatt yang meluas ke arah utara kala itu menarik masyarakat yang bermukim di Negeri Belanda ke dalam ruang lingkup pengaruh mereka.[13] Keadaan ini selaras dengan keterangan dalam catatan Yulius Kaisar bahwasanya Sungai Rhein merupakan batas antara wilayah masyarakat Keltik dan wilayah masyarakat Jermanik.

Kedatangan suku-suku rumpun Jermanik

sunting
 
Persebaran suku-suku utama dari rumpun Jermanik ca. 1 M.

Suku-suku rumpun Jermanik mula-mula mendiami kawasan selatan Skandinavia, Schleswig-Holstein, dan Hamburg,[14] tetapi masyarakat-masyarakat berkebudayaan Zaman Besi dari kawasan yang sama, seperti masyarakat berkebudayaan Wessenstedt (800–600 SM) dan masyarakat berkebudayaan Jastorf, mungkin pula termasuk dalam kelompok ini.[15] Memburuknya iklim di Skandinavia sekitar 850–760 SM yang semakin pesat sekitar 650 SM mungkin memicu perpindahan suku-suku ini. Bukti-bukti arkeologi menyiratkan bahwa pada sekitar 750 SM, Negeri Belanda sampai ke Vistula dan kawasan selatan Skandinavia didiami masyarakat Jermanik yang relatif seragam.[14] Di kawasan barat Negeri Belanda, dataran-dataran banjir di daerah pesisir untuk pertama kalinya didiami kaum pendatang baru ini, karena daerah-daerah yang lebih tinggi di sekitarnya sudah mengalami pertambahan populasi dan menjadi lahan tandus.[16]

Ketika proses perpindahan ini rampung sekitar 250 SM, terbentuklah kelompok-kelompok budaya dan bahasa.[17][18]

Kelompok pertama, yang diberi nama masyarakat "Jermanik Laut Utara", mendiami kawasan utara Negeri Belanda (daerah di sebelah utara sungai-sungai besar) dan menyebar ke seluruh pesisir Laut Utara sampai ke Jutland. Kelompok ini kadang-kadang disebut pula masyarakat "Ingveon", dan mencakup suku-suku yang kemudian hari berkembang menjadi antara lain orang Frisia purwa dan orang Saksen purwa.[18]

Kelompok kedua, yang oleh para ahli diberi nama masyarakat "Jermanik Weser-Rhein" (atau "Jermanik Rhein-Weser"), tersebar di sepanjang kawasan tengah dari daerah aliran Sungai Rhein serta Sungai Weser, dan mendiami kawasan selatan Negeri Belanda (daerah di sebelah selatan sungai-sungai besar). Kelompok ini kadang-kadang disebut pula masyarakat "Istveon", dan terdiri atas suku-suku yang kemudian hari berkembang menjadi suku Franka Sali.[18]

Masyarakat Keltik di kawasan selatan Negeri Belanda

sunting
 
Persebaran diakronik masyarakat Keltik, menunjukkan perluasan wilayah di kawasan selatan Negeri Belanda:
  Pusat kebudayaan Hallstatt, pada abad ke-6 SM
  Perluasan wilayah maksimal masyarakat Keltik, pada 275 SM
  Daerah orang Lusitania di Iberia, tempat keberadaan masyarakat Keltik tidak dapat dipastikan
  daerah-daerah tempat bahasa-bahasa Keltik masih dituturkan secara luas sampai sekarang

Kebudayaan Keltik berasal dari kebudayaan Hallstatt (ca. 800–450 SM) di kawasan tengah Eropa, yakni kebudayaan yang meninggalkan jejak berupa benda-benda bekal kubur yang ditemukan di Hallstatt, Austria.[19] Kemudian hari, pada kurun waktu perkembangan kebudayaan La Tène (ca. 450 SM sampai Negeri Belanda ditaklukkan bangsa Romawi), kebudayaan Keltik ini, baik melalui difusi maupun migrasi, menyebar luas sampai ke kawasan selatan Negeri Belanda. Kawasan selatan Negeri Belanda ini merupakan batas utara dari daerah persebaran orang Galia.

Pada bulan Maret 2005, 17 keping uang logam Keltik ditemukan di Echt, Limburg. Kepingan-kepingan uang perak yang bercampur tembaga dan emas ini diperkirakan berasal dari sekitar tahun 50 SM sampai 20 M. Pada bulan Oktober 2008, harta karun berupa 39 keping uang emas dan 70 keping uang perak Keltik ditemukan di daerah Amby, Maastricht.[20] Kepingan-kepingan uang emas diyakini berasal dari masyarakat Eburones.[21] Benda-benda buatan masyarakat Keltik juga telah ditemukan di daerah Zutphen.[22]

Meskipun harta karun sangat jarang ditemukan, pada beberapa dasawarsa terakhir, sejumlah kepingan uang logam dan benda-benda buatan Keltik lainnya telah ditemukan di seluruh kawasan tengah, timur, dan selatan Negeri Belanda. Menurut para arkeolog, barang-barang temuan ini membuktikan bahwa sekurang-kurangnya daerah Lembah Sungai Maas di Negeri Belanda termasuk dalam ruang lingkup pengaruh kebudayaan La Tène. Para arkeolog Belanda bahkan berspekulasi bahwa Zutphen (yang terletak di kawasan tengah wilayah Negeri Belanda) merupakan daerah permukiman masyarakat Keltik sebelum kedatangan bangsa Romawi, dan sama sekali bukan daerah permukiman masyarakat Jermanik.[22]

Para ahli berbeda pendapat mengenai luas yang sebenarnya dari ruang lingkup pengaruh budaya Keltik.[16][23] Pengaruh budaya Keltik dan kontak-kontak antara kebudayaan Galia dan kebudayaan Jermani perdana di sepanjang Sungai Rhein diduga sebagai sumber dari sejumlah kata serapan dari bahasa Keltik dalam kosakata bahasa proto Jermanik. Namun menurut ahli bahasa berkebangsaan Belgia, Luc van Durme, bukti toponim dari keberadaan masyarakat Keltik di Negeri-Negeri Rendah nyaris tidak ada sama sekali.[24] Meskipun masyarakat Keltik pernah bermukim di Negeri Belanda, inovasi-inovasi Zaman Besi tidak menampakkan pengaruh budaya Keltik yang cukup berarti, dan justru menampakkan hasil pengembangan kebudayaan Zaman Perunggu yang dilakukan masyarakat setempat.[16]

Teori Blok Barat Laut

sunting

Beberapa orang ahli (De Laet, Gysseling, Hachmann, Kossack, dan Kuhn) menduga ada masyarakat lain, bukan Jermanik maupun Keltik, yang mendiami Negeri Belanda sampai dengan Zaman Romawi. Ahli-ahli ini berpandangan bahwa Negeri Belanda pada Zaman Besi adalah bagian dari "Blok Barat Laut" (bahasa Belanda: Noordwestblok) yang membentang mulai dari Sungai Somme sampai ke Sungai Weser.[25][26] Menurut pandangan mereka, peradaban yang memiliki bahasa sendiri ini melebur ke dalam peradaban Keltik yang datang dari arah selatan dan peradaban Jermanik yang datang dari arah timur selambat-lambatnya pada Zaman Pra-Romawi.

Zaman Romawi (57 SM – 410 M)

sunting

Suku-suku pribumi

sunting

Pada masa Perang Galia, wilayah suku-suku Belgi di sebelah selatan Oude Rijn dan di sebelah barat Sungai Rhein ditaklukkan bala tentara Romawi di bawah pimpinan Yulius Kaisar dalam serangkaian aksi militer yang dilancarkan sejak 57 SM sampai 53 SM.[26] Suku-suku yang mendiami Negeri Belanda kala itu tidak meninggalkan keterangan tertulis, sehingga segala informasi mengenai suku-suku ini pada kurun waktu pra-Romawi bersumber dari keterangan yang ditulis orang Yunani dan Romawi mengenai mereka. Salah satu keterangan tertulis semacam ini adalah Commentarii de Bello Gallico (Ulasan Perihal Perang Galia) yang ditulis sendiri oleh Yulius Kaisar. Menurut keterangan Yulius Kaisar, dua suku utama penghuni kawasan yang kini menjadi wilayah kedaulatan Negeri Belanda adalah suku Menapii dan suku Eburones, kedua-duanya bermukin di kawasan selatan Negeri Belanda, yakni kawasan yang diperangi Yulius Kaisar. Yulius Kaisar mencetuskan gagasan bahwa Sungai Rhein adalah pembatas alam antara Galia dan Germania Magna. Akan tetapi Sungai Rhein bukanlah garis perbatasan yang kaku, karena Yulius Kaisar juga menerangkan bahwa sebagian wilayah Galia Belgika didiami banyak suku pribumi (termasuk suku Eburones) yang tergolong suku-suku "Germani Cisrhenani" (suku-suku Jermanik seberang sini, suku-suku Jermanik di tepi barat Sungai Rhein) atau campuran berbagai suku bangsa yang berbeda-beda asal-usulnya.

Suku Menapii mendiami wilayah yang membentang dari kawasan selatan Zeeland, melewati Brabant Utara (dan mungkin sekali Holland Selatan), sampai ke kawasan tenggara Gelderland. Pada penghujung Zaman Romawi, wilayah kekuasaan mereka tampaknya terbagi-bagi atau menyusut, sehingga akhirnya hanya meliputi daerah yang kini menjadi kawasan barat negara Belgia.

Suku Eburones, suku terbesar di antara suku-suku Germani Cisrhenani, mendiami wilayah yang luas termasuk sekurang-kurangnya sebagian dari wilayah Limburg Belanda, membentang ke sebelah timur sampai ke Sungai Rhein di Jerman, dan juga ke sebelah barat laut sampai ke kawasan delta, sehingga berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan suku Menapii. Wilayah kekuasaaan kekuasaan suku Eburones mungkin pula membentang sampai ke Gelderland.

Mengenai daerah delta itu sendiri, Yulius Kaisar secara sambil lalu mengulas tentang Insula Batavorum (pulau orang Batavi) di Sungai Rhein, tanpa menjelaskan apa-apa mengenai penghuninya. Kemudian hari, pada zaman Kekaisaran Romawi, suku yang bernama Batavi menjadi suku yang penting di daerah ini.[27] Kemudian hari, sejarawan Tacitus mencatat bahwa suku Batavi pada mulanya merupakan salah satu puak suku Chatti, yakni salah satu suku di Jerman yang tidak pernah disebut-sebut Yulius Kaisar.[28] Meskipun demikian, para arkeolog mendapati bukti-bukti adanya peradaban yang berkelanjutan di daerah delta. Oleh karena itu, para arkeolog menduga bahwa mungkin suku Chatti adalah suku kecil yang berpindah ke daerah delta, lalu berbaur dengan masyarakat (mungkin sekali bukan suku rumpun Jermanik) yang sudah lebih dahulu mendiami daerah itu, dan mungkin saja suku Chatti adalah bagian dari suku yang lebih terkenal, misalnya suku Eburones.[29]

Kurun waktu penjajahan Romawi sekitar 450 tahun lamanya menimbulkan perubahan besar di kawasan yang kelak menjadi wilayah kedaulatan Negeri Belanda. Seringkali perubahan itu melibatkan konflik berskala besar antara bangsa Romawi dan suku-suku Jermanik merdeka di sepanjang Sungai Rhein.

Suku-suku lain yang pada akhirnya mendiami pulau-pulau di daerah delta pada zaman penjajahan Romawi sebagaimana yang diriwayatkan Plinius Tua adalah orang Kananefati di Holland Selatan, orang Frisi di sebagian besar kawasan yang kini menjadi wilayah kedaulatan Negeri Belanda di sebelah utara Oude Rijn; Orang Frisiaboni di kawasan yang membentang mulai dari daerah delta sampai ke sebelah utara Brabant Utara, orang Marsaci di kawasan yang membentang mulai dari pesisir Vlaanderen sampai ke daerah delta, dan orang Sturi.[30]

Yulius Kaisar melaporkan bahwa ia telah membinasakan orang Eburoni, namun sebagai gantinya orang Teksuandri mendiami sebagian besar daerah Brabant Utara, dan daerah yang sekarang menjadi wilayah provinsi Limburgh, yakni kawasan yang dilewati aliran Sungai Maas dan tampaknya pada zaman Kekaisaran Romawi dihuni (dari utara ke selatan) orang orang Betasi, orang Katualini, orang Sunuci, dan orang Tungri (sejarawan Tacitus melaporkan bahwa Tungri adalah nama baru bagi masyarakat yang sebelumnya disebut orang Germani Cisrhenani).

Plinius Tua meriwayatkan bahwa di sebelah utara Alter Rhein, selain orang Frisi, ada pula sejumlah orang Chauci yang bermukim sampai ke daerah delta, dan dua suku lain yang diketahui berasal dari kawasan timur Negeri Belanda, yakni orang Tuihanti (atau orang Tubanti) dari daerah Twenthe di Overijssel, dan orang Kamavi dari Hamaland di kawasan utara Gelderland, salah satu dari suku-suku pertama yang kelak dinamakan orang Franka. Orang Sali, yang juga tergolong orang Franka, mungkin berasal dari daerah Salland di Overijssel, sebelum terpaksa pindah ke wilayah Kekaisaran Romawi akibat rongrongan masyarakat Saksen pada abad ke-4. Mula-mula orang Sali berpindah ke Batavia, kemudian ke Toksandria.

Permukiman-permukiman bangsa Romawi di Negeri Belanda

sunting
Permukiman-Permukiman Bangsa Romawi
Topeng prajurit berkuda Romawi, ditemukan di dekat kota Leiden.
Perbatasan wilayah Kekaisaran Romawi di sekitar Sungai Rhein sekitar tahun 70 M.

Mulai sekitar tahun 15 SM, daerah sekitar Sungai Rhein di Negeri Belanda menjadi daerah pertahanan Limes Germanicus Hilir. Setelah berkali-kali dilanda peperangan, Sungai Rhein akhirnya menjadi garis batas utara wilayah kekuasaan bangsa Romawi di daratan Eropa. Sejumlah kota kecil berdiri dan sejumlah perkembangan berlangsung di sepanjang garis batas ini. Daerah di sebelah selatan garis perbatasan diintegrasikan ke dalam Kekaisaran Romawi. Daerah yang dulunya merupakan wilayah Gallia Belgica ini dijadikan bagian dari provinsi Germania Inferior. The Suku-suku yang sudah lebih dahulu mendiami atau dipindahkan ke daerah ini warga Kekaisaran Romawi. Daerah di sebelah utara Sungai Rhein, yang didiami orang Frisi dan orang Chauci, tetap berada di luar pemerintahan Romawi tetapi kerap didatangi dan dikendalikan bangsa Romawi.

Bangsa Romawi mendirikan benteng-benteng militer di sepanjang Limes Germanicus, berikut sejumlah kota kecil dan permukiman yang lebih kecil lagi di Negeri Belanda. Kota-kota bangsa Romawi yang lebih menonjol berlokasi di Nijmegen (Ulpia Noviomagus Batavorum) dan Voorburg (Forum Hadriani).

Mungkin reruntuhan peninggalan bangsa Romawi yang paling menarik adalah puing-puing Brittenburg yang misterius itu, muncul dari balik pasir pantai di Katwijk beberapa abad yang lalu, hanya untuk dikubur kembali. Puing-puing ini merupakan bagian dari Lugdunum Batavorum.

Bekas-bekas permukiman, benteng kuil, dan bangunan-bangunan bangsa Romawi lainnya telah ditemukan di Alphen aan de Rijn (Albaniana), Bodegraven, Cuijk, Elst Overbetuwe, Ermelo, Esch, Heerlen, Houten, Kessel di Brabant Utara, Oss (yakni De Lithse Ham dekat Maren-Kessel), Kesteren di Neder-Betuwe, Leiden (Matilo), Maastricht, Meinerswijk (sekarang bagian dari Arnhem), Tiel, Utrecht (Traiectum), Valkenburg di Holland Selatan (Praetorium Agrippinae), Vechten (Fectio) sekarang bagian dari Bunnik, Velsen, Vleuten, Wijk bij Duurstede (Levefanum), Woerden (Laurium atau Laurum) dan Zwammerdam (Nigrum Pullum).

Pemberontakan orang Batavi

sunting
 
Sepanjang sejarah Negeri Belanda, teristimewa semasa Perang Delapan Puluh Tahun, orang Batavi diagung-agungkan sebagai pejuang-pejuang gagah berani yang menjadi cikal bakal bangsa Belanda. "Orang Batavi Mengalahkan Bangsa Romawi di Sungai Rhein", ca. 1613, karya Otto van Veen.
 
Konspirasi Klaudius Sivilis, 1661, karya Rembrandt, menggambarkan peristiwa sumpah setia orang Batavi kepada Gaius Iulius Civilis, pemimpin pemberontakan orang Batavi melawan penjajah Romawi pada tahun 69 M.

Orang Batavi, orang Kananefati, dan suku-suku perbatasan lainnya sangat disegani sebagai prajurit-prajurit tangguh di seluruh wilayah kekaisaran. Menurut tradisi, warga suku-suku ini menjalani masa bakti sebagai prajurit dalam barisan pasukan berkuda Romawi.[31] Budaya daerah perbatasan dipengaruhi bangsa Romawi, suku-suku rumpun Jermanik, dan masyarakat Galia. Pada abad-abad pertama sesudah Galia ditaklukkan bangsa Romawi, usaha dagang tumbuh subur. Peninggalan-peninggalan budaya bendawi bangsa Romawi, Galia, dan Jermanik ditemukan bercampur baur di kawasan ini.

Meskipun demikian, orang Batavi memberontak melawan bangsa Romawi dalam peristiwa Pemberontakan Batavia pada tahun 69 M. Pemimpin pemberontak adalah seorang pribumi Batavi yang bernama Gaius Iulius Civilis. Salah satu penyebab pemberontakan adalah karena pemuda-pemudi Batavia dijadikan budak belian oleh bangsa Romawi. Sejumlah castella Romawi diserang dan dibakar. Prajurit-prajurit Romawi di Xanten dan tempat-tempat lain, serta pasukan-pasukan bantu yang beranggotakan orang Batavi dan orang Kananefati dalam legiun-legiun pimpinan Vitellius turut bergabung dengan kubu pemberontak, sehingga memecah kesatuan bala tentara Romawi yang bertugas di kawasan utara wilayah kekaisaran. Pada bulan April 70 M, beberapa legiun yang dikerahkan Vespasianus di bawah pimpinan Quintus Petillius Cerialis pada akhirnya berhasil mengalahkan orang Batavi dan merundingkan penyerahan diri pemberontak dengan Gaius Iulius Civilis di suatu tempat yang terletak di daerah antara Sungai Waal dan Sungai Maas dekat Noviomagus (Nijmegen), yang mungkin sekali disebut "Batavodurum" oleh orang Batavi.[32] Kemudian hari, orang Batavi berbaur dengan suku-suku lain dan menjadi bagian dari orang Franka Sali.

Para pujangga Belanda pada abad ke-17 dan ke-18 memandang pemberontakan orang Batavi, yang didorong rasa cinta akan kemerdekaan dan dilakukan demi memerdekakan diri sendiri ini, sebagai aksi yang serupa dengan pemberontakan bangsa Belanda melawan bangsa Spanyol dan segala bentuk lain dari tirani. Menurut pandangan nasionalis ini, orang Batavia adalah leluhur "sejati" bangsa Belanda. Pandangan semacam inilah yang menyebabkan nama "Batavia" berulang kali dipergunakan bangsa Belanda. Jakarta dulunya adalah sebuah kota yang diberi nama "Batavia" oleh bangsa Belanda pada tahun 1619. Republik Belanda yang dibentuk pada tahun 1795 berdasarkan prinsip-prinsip revolusioner Prancis disebut Republik Batavia. Bahkan sekarang ini "orang Batavia" merupakan istilah yang kadang-kadang dipakai sebagai sebutan bagi orang Belanda, sama seperti istilah "orang Galia" dijadikan sebutan bagi orang Prancis dan istilah "orang Teuton" dijadikan sebutan bagi orang Jerman.[33]

Munculnya orang Franka

sunting
 
Peta sebaran orang Franka Sali (hijau) dan Franka Ripuari (merah) pada akhir era Romawi.

Para pengkaji periode migrasi pada Zaman Modern sepakat bahwa identitas orang Franka muncul pada paruh pertama abad ke-3 dari berbagai kelompok-kelompok kecil masyarakat Jermanik yang sudah ada sebelumnya, termasuk orang Sali, orang Sikambri, orang Kamavi, orang Brukteri, orang Kati, orang Katuari, orang Ampsivari, orang Tenkteri, orang Ubi, orang Batavi, dan orang Tungri, yang mendiami bagian hilir dan bagian tengah lembah Sungai Rhein di antara Zuyder Zee dan Sungai Lahn serta membentang ke timur sejauh Weser, tetapi lebih banyak bermukim di sekitar IJssel dan daerah di antara Sungai Lippe dan Sungai Sieg. Konfederasi orang Franka mungkin sekali mulai terbentuk pada era 210-an.[34]

Orang Franka pada akhirnya terbagi menjadi dua kelompok, yakni orang Franka Ripuari (bahasa Latin: Ripuari) yang mendiami daerah tengah lembah Sungai Rhein pada zaman penjajahan Romawi, dan orang Franka Sali yang berasal dari Negeri Belanda.

Orang Franka dicatat sebagai kawan maupun lawan (laeti maupun dediticii) dalam karya-karya tulis Romawi. Sekitar tahun 320, orang Franka berhasil menguasai daerah sekitar Sungai Scheldt (sekarang menjadi daerah Vlaanderen Barat dan kawasan barat daya Negeri Belanda), dan melakukan perompakan di Selat Inggris, menghambat kelancaran angkutan laut menuju Britania. Pasukan-pasukan Romawi dapat mengamankan kawasan itu, tetapi tidak mengusir orang Franka, yang tetap saja ditakuti sebagai gerombolan perompak di sepanjang daerah pesisir setidaknya sampai masa pemerintahan Yulianus Si Murtad (358), yakni masa ketika orang Franka Sali diizinkan menetap di Toksandria sebagai salah satu foederati Kekaisaran Romawi, menurut keterangan Ammianus Marcellinus.[34]

Lenyapnya orang Frisi

sunting
 
Kawasan sekitar Laut Utara ca. 250-500 M.

Ada tiga faktor yang menyebabkan orang Frisi menghilang dari kawasan utara Negeri Belanda. Yang pertama, menurut Panegyrici Latini (Naskah VIII), orang Frisi kuno dipaksa pindah ke permukiman baru di dalam wilayah Kekaisaran Romawi sebagai laeti (kaum hamba tani Romawi) sekitar tahun 296.[35] Keterangan ini adalah kabar paling akhir mengenai orang Frisi dalam catatan sejarah. Nasib mereka selanjutnya hanya dapat diduga melalui catatan arkeologi. Penemuan sejenis gerabah khas Frisia dari abad ke-4, yang disebut terp Tritzum, menyiratkan bahwa orang-orang Frisi, dalam jumlah yang tidak diketahui, berpindah ke Vlaanderen dan Kent,[36] agaknya sebagai laeti di bawah paksaan bangsa Romawi. Yang kedua, lingkungan daerah pesisir yang rendah di kawasan barat laut Eropa mulai semakin amblas sekitar tahun 250, dan perlahan-lahan terhenti sepanjang 200 tahun berikutnya. Subsidensi tektonik, naiknya permukaan air tanah, dan pusuan ribut mengakibatkan sejumlah daerah terendam transgresi laut. Keadaan ini semakin diperparah perubahan iklim di daerah pesisir sehingga menjadi lebih dingin dan lebih lembap. Andaikata masih ada orang Frisi yang tersisa di daerah pesisir, tentunya mereka punah akibat tenggelam.[37][38][39][40] Yang ketiga, selepas runtuhnya Kekaisaran Romawi, terjadi penurunan jumlah penduduk seiring terhentinya akitivitas bangsa Romawi dan penarikan mundur lembaga-lembaga bangsa Romawi. Sebagai akibat dari ketiga faktor ini, orang Frisi dan orang Frisievoni menghilang dari daerah bekas permukiman asli mereka. Sebagian besar daerah pesisir tetap tidak berpenghuni selama dua abad selanjutnya.[37][38][39][40]

Abad Pertengahan Awal (411–1000)

sunting

Orang Frisia

sunting
 
Perkiraan kasar persebaran orang Franka dan orang Frisia sekitar tahun 716 M

Seiring membaiknya keadaan iklim, suku-suku rumpun Jermanik sekali lagi beramai-ramai hijrah meninggalkan kampung halaman mereka di sebelah timur menuju tempat-tempat lain. Kurun waktu berlangsungnya migrasi besar-besaran ini dikenal dengan sebutan "Zaman Migrasi" (Volksverhuizingen). Kawasan utara Negeri Belanda dibanjiri kaum pendatang, yakni orang Anglia, orang Yuti, dan terutama orang Saksen. Banyak di antara kaum pendatang ini tidak menetap di kawasan utara Negeri Belanda tetapi terus bergerak menuju Inggris, dan kini dikenal dengan sebutan orang Anglia-Sachsen. Kaum pendatang yang tidak melanjutkan perjalanan menuju Inggris kelak dikenal dengan sebutan "orang Frisia", sekalipun bukan keturunan orang Frisi. Para warga Frisia yang baru ini menetap di kawasan utara Negeri Belanda, dan menjadi cikal bakal bangsa Frisia modern.[41][42] Orang Frisia maupun orang Anglia-Sachsen terdahulu lahir dari konfederasi-konfederasi kesukuan yang identik, sehingga bahasanya pun sangat mirip. bahasa Frisia Lama berkerabat dekat dengan bahasa Inggris Lama,[43] sehingga dialek-dialek bahasa Frisia modern pun pada gilirannya berkerabat dekat dengan bahasa Inggris modern. Pada akhir abad ke-6, daerah kekuasaan orang Frisia di kawasan utara Negeri Belanda telah meluas sampai ke daerah pesisir Laut Utara, dan meluas sampai ke Dorestad di sebelah selatan pada abad ke-7. Selama kurun waktu ini, sebagian besar kawasan utara Negeri Belanda dikenal dengan sebutan Frisia. Daerah kekuasaan orang Frisia yang sangat luas ini adakalanya juga disebut Frisia Magna atau Frisia Raya.

 
Dorestad dan jalur-jalur dagang utama

Pada abad ke-7 dan ke-8, daerah ini disebut-sebut dalam catatan sejarah orang Franka sebagai kerajaan orang Frisia. Wilayah kerajaan ini meliputi provinsi-provinsi yang terletak di daerah pesisir Negeri Belanda dan daerah pesisir Laut Utara Jerman. Pada kurun waktu ini, bahasa Frisia dipertuturkan di seluruh kawasan selatan daerah pesisir Laut Utara. Pada abad ke-7, kerajaan orang Frisia (650–734) di bawah pemerintahan Raja Aldegisel dan Raja Redbad berpusat di kota Utrecht.

Dorestad adalah pekan (emporium) terbesar di kawasan barat laut Eropa, yang berkembang di sekitar sebuah bekas benteng Romawi. Pekan ini adalah tempat berdagang yang ramai, tiga kilometer panjangnya, dan terletak di daerah tempat aliran Sungai Rhein dan Sungai Lek berbelok ke sebelah tenggara kota Utrecht, tak jauh dari kota Wijk bij Duurstede modern.[44][45] Sekalipun terletak jauh dari pesisir, Dorestad merupakan pusat dagang di kawasan Laut Utara yang banyak memperjualbelikan barang-barang dari Rheinland Tengah.[45][46] Salah satu barang dagangan utama yang diperjualbelikan di Dorestad adalah minuman anggur, yang agaknya didatangkan dari kebun-kebun anggur di sebelah selatan Mainz.[46] Dorestad juga terkenal karena percetakan uang logamnya. Antara tahun 600 sampai kira-kira tahun 719, Dorestad berulang kali diperebutkan orang Frisia dan orang Franka.

Orang Franka

sunting
 
Gerak ekspansi orang Franka dari tahun 481 sampai tahun 870 M

Setelah pemerintahan Romawi di kawasan ini runtuh, orang Franka bergerak memperluas daerah kekuasaan mereka sampai sehingga tumbuh banyak kerajaan kecil bentukan orang Franka, terutama di Köln, Doornik, Le Mans, dan Kamerijk.[34][47] Raja-raja Doornik akhirnya menundukkan raja-raja orang Franka lainnya. Pada kurun waktu 490-an, Klovis I berhasil menundukkan dan mempersatukan seluruh daerah kekuasaan orang Franka di sebelah barat Sungai Maas, termasuk kerajaan-kerajaan orang Franka di kawasan selatan Negeri Belanda. Klovis kemudian meneruskan aksi penaklukannya ke wilayah Galia.

Setelah Klovis I wafat pada tahun 511, keempat putranya membagi-bagi wilayah kerajaannya. Theuderik I mendapatkan daerah-daerah yang kelak menjadi wilayah Kerajaan Austrasia (termasuk kawasan selatan Negeri Belanda). Anak dan cucu Theuderik I berturut-turut memerintah menggantikannya sampai Kerajaan Austrasia dipersatukan dengan kerajaan-kerajaan orang Franka lainnya pada tahun 555 oleh Klothar I, yang menjadi penguasa tunggal atas seluruh wilayah kekuasaan orang Franka pada tahun 558. Klothar I membagi-bagikan wilayah kerajaannya kepada keempat putranya, tetapi keempat wilayah hasil pembagian ini berubah menjadi tiga kerajaan saja sepeninggal Karibert I pada tahun 567. Kerajaan Austrasia (termasuk kawasan selatan Negeri Belanda) diberikan kepada Sigebert I. Kawasan selatan Negeri Belanda seterusnya menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Austrasia until sampai pada masa pemerintahan wangsa Karoling.

Orang-orang Franka yang berekspansi sampai ke Galia akhirnya menetap dan mengadopsi bahasa Latin Umum yang dituturkan masyarakat setempat.[18] Meskipun demikian, bahasa Jermanik masih tetap digunakan sebagai bahasa kedua oleh para pejabat publik di kawasan barat Austrasia dan Neustria sampai kurun waktu 850-an. Bahasa Jermanik punah di daerah-daerah ini pada abad ke-10.[48] Pada masa ekspansi ke Galia, banyak puak orang Franka yang tetap tinggal di utara (yakni di kawasan selatan Negeri Belanda, Vlaanderen, dan sebagian kecil kawasan utara Prancis). Muncul kesenjangan budaya yang kian melebar antara masyarakat Franka yang tetap tinggal di utara dan para pemimpin Franka di Galia, yakni di kawasan yang sekarang menjadi wilayah negara Prancis.[47] Orang Franka Sali tetap tinggal di kampung halaman aslinya dan di daerah-daerah tetangga di sebelah selatan serta tetap menuturkan bahasa aslinya, bahasa Franka Lama, yang berkembang menjadi bahasa Belanda Lama pada abad ke-9.[18] Garis batas antara wilayah penutur bahasa Belanda dan wilayah penutur bahasa Prancis akhirnya terbentuk, tetapi mula-mula jauh lebih ke selatan dari letaknya saat ini.[18][47] Di daerah-daerah yang dilewati Sungai Maas dan Sungai Rhein di Negeri Belanda, orang Franka menguasai pusat-pusat politik dan perdagangan, khususnya di Nijmegen dan Maastricht.[47] Orang-orang Franka di daerah ini masih tetap berhubungan dengan orang Frisia di utara, terutama di tempat-tempat seperti Dorestad dan Utrecht.

Keraguan pada Zaman Modern mengenai perbedaan antara orang Frisia, orang Franka, dan orang Saksen

sunting
 
Santo Wilibrordus, misionaris Anglia-Sachsen dari Northumberland, Rasul Frisia, Uskup Utrecht yang pertama.

Pada akhir abad ke-19, para sejarawan Belanda meyakini bahwa orang Franka, orang Frisia, dan orang Saksen adalah cikal bakal bangsa Belanda. Beberapa sejarawan bahkan melangkah lebih jauh lagi dengan menjabarkan atribut-atribut, nilai-nilai, dan kelebihan-kelebihan tertentu yang konon dimiliki suku-suku bangsa ini, dan mengedepankannya sebagai cerminan pandangan-pandangan kebangsaan dan keagamaan pada abad ke-19. Pada khususnya, diyakini bahwa teori ini menjelaskan mengapa warga Belgia dan kawasan selatan Negeri Belanda (yakni orang Franka) memeluk agama Kristen Katolik, sementara warga kawasan utara Negeri Belanda (orang Frisia dan orang Saksen) memeluk agama Kristen Protestan. Salah satu penyebab kesuksesan teori ini adalah teori-teori antropologi yang didasarkan atas suatu paradigma kesukuan. Karena bersifat inklusif secara politis dan geografis, tetapi menjunjung tinggi keberagaman, teori ini selaras dengan kebutuhan bina bangsa dan integrasi pada kurun waktu 1890–1914. Teori ini diajarkan di sekolah-sekolah Negeri Belanda kala itu.

Meskipun demikian, kerugian-kerugian dari tafsir sejarah ini mulai muncul ke permukaan. Teori berasas kesukuan ini menyiratkan bahwa garis-garis perbatasan eksternal sesungguhnya lemah atau tidak wujud, dan bahwasanya ada garis-garis perbatasan internal yang jelas. Mitos asal usul ini menyajikan sebuah premis historis, teristimewa pada Perang Dunia II, bagi separatisme regional dan aneksasi ke Jerman. Selepas tahun 1945, paradigma kesukuan kehilangan daya pikatnya di kalangan antropolog dan sejarawan. Manakala keakuratan landasan tema tiga-suku dipertanyakan, teori ini pun tidak lagi diminati orang.[33]

Karena langkanya sumber-sumber tertulis, pengetahuan mengenai kurun waktu ini sangat bergantung pada penafsiran data arkeologi. Pandangan tradisional yang menyatakan bahwa ada keterpisahan yang jelas antara orang Frisia di sebelah utara serta daerah pesisir, orang Franka di sebelah selatan, dan orang Saksen di sebelah timur terbukti secara historis bermasalah.[49][50][51] Bukti-bukti arkeologi secara dramatis menunjukkan model-model yang berlainan dari satu daerah ke darah lain, dengan kesinambungan demografi untuk sejumlah kawasan di Negeri Belanda dan depopulasi serta kemungkinan bergantinya populasi di kawasan-kawasan lain, terutama di daerah pesisir Frisia dan Holland.[52]

Kemunculan bahasa Belanda

sunting

Bahasa yang menjadi cikal bakal bahasa belanda Lama (atau bahasa Franken Hilir Barat) dan bahasa Franken Hilir Lama (atau bahasa Franka Lama) tidak diketahui secara pasti, tetapi diduga bahwa bahasa tersebut adalah bahasa yang dituturkan orang Franka Sali. Kendati orang Franka sudah lama digolongkan ke dalam rumpun suku Jermanik Weser-Rhein, bahasa Belanda memiliki sejumlah ciri khas rumpun bahasa Ingvaeonik, dan digolongkan ke dalam rumpun bahasa tersebut oleh ahli-ahli bahasa modern. Bahasa Belanda juga memiliki sejumlah ciri kas bahasa Saksen Lama. Bahasa Belanda Lama, bahasa Saksen Lama, bahasa Inggris Lama, dan bahasa Frisia Lama masih berkerabat dekat. Nyaris tidak ada peninggalan tertulis dalam bahasa yang dituturkan orang Franka, dan peninggalan tertulis dalam bahasa Belanda Lama sangat langka serta tidak lagi utuh, sehingga tidak banyak yang dapat diketahui mengenai perkembangan bahasa Belanda Lama. Bahasa Belanda Lama bertransisi menjadi bahasa Belanda Pertengahan sekitar tahun 1150.[18]

Masuknya agama Kristen

sunting

Agama Kristen yang dibawa masuk ke Negeri Belanda oleh bangsa Romawi tampaknya hilang sama sekali (setidaknya di Maastricht) setelah bangsa Romawi hengkang dari Negeri Belanda sekitar tahun 411.[47]

Orang Franka menerima agama Kristen setelah raja mereka, Klovis I, memeluk agama Kristen Katolik pada tahun 496. Agama Kristen masuk ke kawasan utara sesudah orang Franka menaklukkan Friesland. Orang Saksen di kawasan timur sudah memeluk agama Kristen sebelum Sachsen ditaklukkan, dan menjadi sekutu orang Franka.

Para misionaris Hibernia-Skotlandia dan Anglia-Sachsen, teristimewa Wilibrordus, Wolframus, dan Bonifasius, berjasa memperkenalkan agama Kristen kepada masyarakat Franka dan Frisia pada abad ke-8. Bonifasius gugur sebagai martir karena dibunuh orang Frisia di Dokkum pada tahun 754.

Penjajahan Franka dan penggabungan dengan Kekaisaran Romawi Suci

sunting
 
Dewangga dari awal abad ke-16, bergambar peristiwa pembaptisan Radboud, Raja Orang Frisia yang mangkat pada tahun 719.

Pada permulaan abad ke-8, mulai sering timbul konflik antara orang Frisia dan orang Franka di sebelah selatan. Konflik-konflik ini menimbulkan serangkaian perang yang mengakibatkan Frisia menjadi jajahan Kekaisaran Orang Franka. Dalam Pertempuran Boorne pada tahun 734, orang Frisia di wilayah Belanda dikalahkan orang Franka, dan dengan demikian kawasan di sebelah barat Sungai Lauwers pun menjadi jajahan mereka. Kawasan di sebelah timur Sungai Lauwers menjadi jajahan orang Franka tahun 785 setelah Karel Agung mengalahkan Widukind.

Keturunan orang Franka berdasarkan bahasa, yakni masyarakat penutur bahasa Belanda di Negeri Belanda dan Vlaanderen sekarang ini, tampaknya sudah lepas dari endonim "Franka" sekitar abad ke-9. Pada masa itu, identitas Franka sudah berubah dari identitas suku bangsa menjadi identitas bangsa, menjadi terlokalisasi dan terbatas pada daerah yang sekarang bernama Franken dan teristimewa daerah yang sekarang menjadi Provinsi Île-de-France di Prancis.[53]

Meskipun tidak lagi menyebut dirinya "orang Franka", masyarakat Negeri Belanda masih menjadi bagian dari Kekaisaran Orang Franka di bawah kepemimpinan Karel Agung. Karena wangsa Karoling berasal dari Austrasia, yang terletak di antara Sungai Rhein dan Sungai Maas, kota Aachen, kota Maastricht, kota Liège dan kota Nijmegen menjadi jantung kebudayaan zaman wangsa Karoling.[47] Karel Agung memenuhi kebutuhan palatium (majelis istana)[54] di Nijmegen paling sedikit empat kali.

Wilayah kekuasaan Kekaisaran Wangsa Karoling pada akhirnya meliputi Prancis, Jerman, kawasan utara Italia, dan banyak lagi tempat lain di Eropa Barat. Pada tahun 843, kekaisaran orang Franka dipecah menjadi tiga bagian, sehingga terciptalah Negeri Franka Barat di kawasan barat, Negeri Franka Timur di kawasan timur, dan Negeri Franka Tengah di kawasan tengah wilayah kekuasaan orang Franka. Sebagian besar wilayah Negeri Belanda sekarang ini adalah bekas bagian wilayah Negeri Franka Tengah, sementara daerah Vlaanderen adalah bekas bagian wilayah Negeri Franka Barat. Inilah salah satu faktor penting yang turun-temurun membedakan daerah Vlaanderen dari daerah-daerah penutur bahasa Belanda lainnya.

Negeri Franka Tengah (bahasa Latin: Francia Media) adalah kerajaan orang Franka berumur pendek tanpa identitas sejarah maupun suku bangsa sebagai pemersatu warganya yang terdiri atas bermacam-macam suku bangsa. Kerajaan ini dibentuk berdasarkan Perjanjian Verdun tahun 843 yang membagi wilayah Kekaisaran wangsa Karoling kepada putra-putra Ludwig Si Warak. Wilayah kerajaan yang diapit Negeri Franka Timur dan Negeri Franka Barat ini terdiri atas daerah-daerah kekuasaan orang Franka di antara Sungai Rhein dan Sungai Schelde, daerah pesisir Vlaanderen di tepi Laut Utara, bekas wilayah Kerajaan Burgundia (kecuali bagian baratnya yang kemudian hari dikenal dengan nama Bourgogne), Provence, dan Kerajaan Italia.

Negeri Franka Tengah jatuh ke tangan Lothair I, putra sulung dan pengganti Ludwig Si Warak, sesudah berperang melawan adik-adiknya, Ludwig Si Jerman dan Karel Si Gundul. Sebagai wujud pengakuan terhadap gelar kaisar yang disandang Lothair I, wilayah Negeri Franka Tengah mencakup kota-kota kekaisaran, yakni Aachen, kota tempat Karel Agung bermastautin, dan Roma. Pada tahun 855, sebelum menghembuskan napas terakhirnya di Biara Prüm, Kaisar Lothair I membagi wilayah kekuasaannya kepada putra-putranya. Sebagian besar daerah di sebelah utara Pegunungan Alpen, termasuk Negeri Belanda, diwariskan kepada Lothair II sehingga disebut Lotharingia (bahasa Prancis: Lorraine). Sesudah Lothair II wafat pada tahun 869, Lotharingia dibagi-bagi kedua pamannya, Ludwig Si Jerman dan Karel Si Gundul, sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam Perjanjian Meerssen tahun 870. Meskipun beberapa daerah di Negeri Belanda dikuasai orang Viking, Negeri Belanda secara teknis menjadi bagian dari Negeri Franka Timur pada tahun 870. Negeri Franka Timur akhirnya berubah nama menjadi Kekaisaran Romawi Suci pada tahun 962.

Serbuan orang Viking

sunting
 
Rorik, pahlawan Viking yang menaklukkan dan memerintah Friesland, gambar romantisasi dari tahun 1912, karya Johannes Hermanus Koekkoek

Pada abad ke-9 dan ke-10, orang Viking menyerbu kota-kota pantai dan tepi sungai yang tak terlindung, milik orang Frisia dan orang Franka, di kawasan Negeri-Negeri Rendah (bahasa Belanda: Nederlanden). Meskipun tidak pernah menetap dalam jumlah besar, orang Viking membangun pangkalan-pangkalan di daerah-daerah tersebut yang digunakan dalam jangka panjang, bahkan dalam kasus-kasus tertentu diakui sebagai penguasa. Dalam tradisi sejarah bangsa Belanda dan Frisia, pusat dagang Dorestad mengalami kemerosotan akibat serbuan-serbuan orang Viking yang dilancarkan dari tahun 834 sampai tahun 863. Meskipun demikian, karena tidak ada bukti arkeologi meyakinkan terkait keberadaan orang Viking yang ditemukan di Dorestad (per 2007), tradisi sejarah tersebut akhir-akhir ini mulai diragukan kebenarannya.[55]

Salah satu keluarga Viking terkemuka di Negeri-Negeri Rendah adalah keluarga Rorik dari Dorestad (berbasis di Wieringen) dan adiknya, "Harald Muda" (berbasis di Walcheren). Kedua adik-beradik ini diduga sebagai kemenakan Harald Klak.[56] Sekitar tahun 850, Lothair I mengakui Rorik sebagai penguasa sebagian besar wilayah Friesland, dan pada tahun 870, selaku raja bawahan wangsa Karoling, Rorik diterima menghadap Kaisar Karel Si Gundung di Nijmegen. Serbuan-serbuan orang Viking berlanjut pada kurun waktu tersebut. Rodulf, putra Harald, dan pengawal-pengawalnya tewas dibunuh orang-orang Oostergo pada tahun 873. Rorik sendiri wafat sebelum tahun 882.

kumpulan-kumpulan harta terpendam peninggalan orang Viking yang sebagian besar berupa barang-barang perak telah ditemukan di kawasan Negeri-Negeri Rendah. Dua kumpulan ditemukan di Wieringen. Sekumpulan besar harta karun yang ditemukan di Wieringen pada tahun 1996 diperkirakan berasal dari sekitar tahun 850 dan diduga berkaitan dengan Rorik. Penguburan harta kekayaan semacam ini dipandang sebagai salah satu indikasi keberadaan sebuah permukiman permanen di Wieringen.[57]

Sekitar tahun 879, Godfrid tiba di Friesland membawa sepasukan besar prajurit yang meneror kawasan Negeri-Negeri Rendah. Dengan menjadikan Ghent sebagai pangkalannya, pasukan Godfried menggempur Ghent, Maastricht, Liège, Stavelot, Prüm, Koln, dan Koblenz. Karena berhasil menguasai sebagian besar wilayah Friesland dari tahun 882 sampai akhir hayatnya pada tahun 885, Godfrid dikenal dalam sejarah sebagai Godfrid, Adipati Friesland. Kekuasaannya atas Friesland selaku raja bawahan wangsa Karoling diakui Kaisar Karel Si Tambun. Ketika Godfried tewas terbunuh pada tahun 885, Gerolf dari Holland mengambil alih tampuk pemerintahan Friesland, dan zaman kekuasaan orang Viking di Friesland pun berakhir.

Serbuan orang Viking di kawasan Negeri-Negeri Rendah berlanjut lebih dari seabad. Jejak-jejak serbuan orang Viking yang diperkirakan berasal dari kurun waktu tahun 880 sampai tahun 890 telah ditemukan di Zutphen dan Deventer. Pada tahun 920, Raja Hendrik Si Pemburu Unggas Liar asal Saksen membebaskan kota Utrecht dari penjajahan Viking. Menurut sejumlah tawarikh, serbuan terakhir orang Viking terjadi pada dasawarsa pertama abad ke-11 di Tiel dan/atau Utrecht.[58]

Serbuan-serbuan orang Viking terjadi bertepatan dengan perang perebutan supremasi di Negeri Franka Tengah (mencakup Negeri Belanda) di antara para penguasa Prancis dan Jerman, sehingga melemahkan kekuasaan mereka atas kawasan Negeri-Negeri Rendah. Perlawanan terhadap orang Viking, kalaupun ada, dilakukan para menak lokal, yang membuat mereka semakin kuat dan berkuasa.

Abad Pertengahan Madya dan Abad Pertengahan Akhir (1000–1432)

sunting
 
Kapel Santo Nikolaus (bahasa Belanda: Sint-Nicolaaskapel) atau Kapel Valkhof (bahasa Belanda: Valkhofkapel) di Nijmegen, salah satu bangunan tertua di Negeri Belanda

Bagian dari Kekaisaran Romawi Suci

sunting

Raja-raja dan kaisar-kaisar Jerman berdaulat atas Negeri Belanda pada abad ke-10 dan ke-11. Jerman disebut Kekaisaran Romawi Suci setelah Raja Otto Agung dinobatkan menjadi kaisar. Kota Nijmegen di Negeri Belanda pernah menjadi salah satu daerah penting bagi kaisar-kaisar Jerman. Sejumlah kaisar Jerman lahir dan wafat di Nijmegen, demikian pula Teofanu, Permaisuri Romawi Suci asal Romawi Timur. Utrecht juga merupakan salah satu kota sekaligus bandar niaga yang penting kala itu.

Keterpecahan politik

sunting

Kekaisaran Romawi Suci tidak mampu mempertahankan kesatuan politiknya. Selain kian merdekanya kota-kota, para penguasa lokal mengubah kabupaten-kabupaten dan kadipaten-kadipaten mereka menjadi kerajaan-kerajaan partikelir dan hanya memiliki sedikit rasa wajib berbakti kepada kaisar yang memerintah sebagian besar wilayah kekaisaran secara atas-nama saja. Sebagian besar kawasan yang kini menjadi wilayah Negeri Belanda diperintah Bupati Holland, Adipati Gelre, Adipati Brabant, dan Uskup Utrecht. Friesland dan Groningen di sebelah utara mempertahankan kemerdekaan mereka dan diperintah para menak yang lebih rendah tingkatannya.

Negara-negara feodal tersebut nyaris terus-menerus saling memerangi. Gelre dan Holland bertempur memperebutkan kekuasaan atas Utrecht. Utrecht, yang uskupnya memerintah setengah dari keseluruhan wilayah Negeri Belanda saat ini pada tahun 1000, kian terpinggirkan seiring kian sukarnya memilih uskup baru, sementara wangsa-wangsa penguasa negara-negara tetangga justru semakin kuat mengakar. Groningen, Drenthe, dan sebagian besar Gelre, yang dulunya merupakan bagian dari Swapraja Utrecht, akhirnya merdeka. Brabant mencoba menaklukkan swapraja-swapraja tetangganya, tetapi tidak berhasil. Holland juga mengalami kegagalan ketika berusaha mendaulat Zeeland dan Friesland.

Orang Frisia

sunting

Masyarakat yang mula-mula mendiami daerah Holland adalah orang Frisia. Kala itu, daerah yang jarang penduduknya tersebut dikenal dengan sebutan "Friesland Barat" (bahasa Belanda: Westfriesland). Seiring pertambahan jumlah permukiman orang Franka, orang Frisia pun bermigrasi atau berbaur dengan masyarakat pendatang, dan daerah tersebut dengan cepat berubah menjadi daerah penutur bahasa Belanda Lama. Bagian dari daerah Holland Utara yang terletak di sebelah utara Alkmaar masih disebut Friesland Barat dalam percakapan sehari-hari.

Daerah Friesland di kawasan utara Negeri Belanda tetap merdeka pada kurun waktu ini. Friesland memiliki lembaga pemerintahan sendiri (yang secara kolektif disebut "Kemerdekaan Frisia") dan menolak pemberlakuan sistem feodal maupun tatanan kebangsawanan seperti yang ada di praja-praja Eropa lainnya. Orang Frisia memandang dirinya sebagai sekutu Swiss. Pekik perang orang Frisia adalah "lebih baik mati daripada membudak". Kemudian hari, orang Frisia kehilangan kemerdekaannya setelah dikalahkan pada tahun 1498 oleh tentara-tentara bayaran Landsknecht dari Jerman yang dikerahkan Adipati Saksen-Meißen, Albrecht III.

Kebangkitan Holland

sunting
 
Dirk VI, Bupati Holland (1114–1157) meninjau pekerjaan pembangunan Biara Egmond bersama ibunya, Petronella, lukisan karya Charles Rochussen, 1881. Karya seni ukir di dalam lukisan ini adalah Timpanum Egmond, yang menampilkan sosok Dirk dan ibunya mengapit Santo Petrus.
 
Lukisan peristiwa bencana Banjir Santa Elisabet yang menggenangi daerah Grote Waard dari tanggal 18 sampai tanggal 19 November 1421

Pusat kekuasaan di kawasan yang kian merdeka ini adalah Kabupaten Holland. Cikal bakal wilayah Kabupaten Holland adalah daerah Kennemerland (daerah sekitar Haarlem sekarang) yang dianugerahkan kaisar kepada pemimpin orang Dani, Rorik, sebagai tanah pertuanan pada tahun 862. Di bawah kepemimpinan anak cucu Rorik, daerah ini mengalami pemekaran dan menjadi salah satu daerah penting di Negeri belanda. Pada tahun-tahun permulaan abad ke-11, Bupati Dirk III mengutip tol di muara Sungai Maas dan mampu membendung intervensi militer atasannya, Adipati Lotharingia Hilir.

Pada tahun 1083, nama "Holland" muncul untuk pertama kalinya dalam sebuah akta sebagai sebutan bagi daerah yang kurang lebih sama dengan wilayah provinsi Holland Selatan ditambah bagian selatan dari wilayah provinsi Holland Utara saat ini. Pamor Holland terus meningkat selama dua abad selanjutnya. Bupati Holland menaklukkan hampir seluruh daerah Zeeland, tetapi orang Frisia di Friesland Barat (bagian utara dari wilayah provinsi Holland Utara sekarang ini) baru dapat ditundukkan pada tahun 1289 oleh Bupati Floris V.

Ekspansi dan pertumbuhan

sunting

Sekitar tahun 1000 Masehi, terjadi perkembangan-perkembangan di bidang pertanian (kadang-kadang disebut revolusi pertanian) yang menghasilkan peningkatan produksi, terutama produksi pangan. Ekonomi mulai tumbuh dengan pesat, dan produktivitas yang tinggi memungkinkan petani untuk menggarap lebih banyak lahan atau menjadi pedagang.

Dari akhir kurun waktu penjajahan Romawi, sebagian besar kawasan barat Negeri Belanda tidak berpenghuni, sampai para petani dari Vlaanderen dan Utrecht mulai membeli tanah rawa-rawa di kawasan itu, mengeringkannya, dan menggarapnya sekitar tahun 1100. Proses tersebut berlangsung dengan cepat sehingga dalam beberapa generasi saja kawasan tersebut sudah ramai penghuninya. Mereka membuka lahan-lahan usaha tani mandiri yang bukan bagian dari desa-desa. Usaha tani semacam ini merupakan hal yang unik di Eropa kala itu.

Serikat-serikat usaha terbentuk dan pasar-pasar tumbuh ramai karena hasil produksi sudah melebihi kebutuhan masyarakat setempat. Selain itu, pengenalan mata uang membuat urusan-urusan dagang menjadi lebih mudah ditangani daripada sebelumnya. Kota-kota yang sudah ada kian bertumbuh, dan kota-kota baru terbentuk di sekitar biara-biara dan puri-puri. Suatu golongan masyarakat kelas menengah yang menggeluti usaha dagang mulai terbentuk di kawasan-kawasan perkotaan ini. Usaha dagang dan pemekaran kota mengalami peningkatan seiring pertumbuhan populasi.

Perang Salib cukup populer di Negeri-Negeri Rendah. Banyak warganya yang ikut serta berjuang di Tanah Suci, sementara Negeri-Negeri Rendah sendiri relatif damai. Aksi-aksi penjarahan orang Viking sudah terhenti. Baik Perang Salib maupun keadaan relatif damai di Negeri-Negeri Rendah merupakan faktor-faktor yang ikut memajukan perdagangan.

Kota-kota muncul dan berkembang, khususnya di Vlaanderen dan Brabant. Seiring peningkatan kemakmuran dan keberdayaannya, kota-kota mulai membeli hak-hak istimewa tertentu dari penguasa, antara lain hak-hak kota, yakni hak swatantra dan hak mengesahkan hukum sendiri. Pada praktiknya, ini berarti kota-kota termakmur menjadi republik-republik kuasi-independen atas usaha sendiri. Dua di antara kota-kota terpenting adalah Brugge dan Antwerpen (di Vlaanderen), yang kemudian hari terbilang di antara kota-kota dan bandar-bandar terpenting di Eropa.

Sengketa Gancu dan Kabelyauw

sunting
 
Jacqueline, Gravin Henegouwen, 1401–1436, tokoh yang dikenal orang Belanda dengan nama "Jacoba van Bayern".

Sengketa Gancu dan Kabelyauw (bahasa Belanda: Hoekse en Kabeljauwse twisten) adalah serangkaian perang dan pertempuran di Kabupaten Holland yang berlangsung antara tahun 1350 sampai tahun 1490. Sebagian besar dari perang dan pertempuran tersebut berkaitan dengan perebutan gelar Bupati Holland, tetapi sementara pihak berpendapat bahwa alasan hakikinya adalah perebutan kekuasaan antara kaum borjuis di kota-kota dan kaum menak yang memegang tampuk pemerintahan.

Anggota faksi Kabelyauw pada umumnya adalah kota-kota di Holland yang berhaluan progresif, sementara sebagian besar anggota Faksi Gancu adalah kaum menak yang berhaluan konservatif. Tokoh-tokoh utama dalam konflik multigenerasi ini antara lain Willem IV (Bupati Henegouwen merangkap Bupati Holland), Margaretha (Permaisuri Romawi Suci merangkap Gravin Holland), Willem V (Adipati Bayern merangkap Bupati Holland), Willem VI (Adipati Bayern-Straubing merangkap Bupati Holland), Jan (Adipati Bayern-Straubing merangkap Bupati Holland), dan Filips Sang Budiman (Adipati Burgundia merangkap Bupati Holland), tetapi mungkin yang paling terkenal adalah Jacoba (Gravin Henegouwen merangkap Gravin Holland).

Pendaulatan Kabupaten Holland oleh Adipati Burgundia, Filips Sang Budiman, merupakan urusan yang pelik. Para menak terkemuka di Holland mengundang sang adipati untuk mendaulat Holland, meskipun sang adipati tidak memiliki klaim bersejarah atas Holland. Menurut beberapa sejawaran, golongan yang berkuasa di Holland menghendaki agar daerah itu diintegrasikan ke dalam tatanan ekonomi Vlaanderen dan mengadopsi lembaga-lembaga hukum Vlaanderen. Ketika Eropa diguncang berbagai perang saudara pada abad ke-14 dan ke-15, Vlaanderen justru semakin sejahtera dan aman tenteram.

Zaman penjajahan Burgundia dan wangsa Habsburg Spanyol (1433–1567)

sunting
 
Negeri-Negeri Rendah pada akhir abad ke-14

Zaman penjajahan Burgundia

sunting

Sebagian besar dari kawasan yang kini menjadi wilayah negeri Belanda dan Belgia digabungkan ke dalam wilayah Kadipaten Burgundia pada tahun 1433. Sebelum penggabungan, orang Belanda mengidentifikasi diri sebagai warga kota, kadipaten, atau kabupaten tempat mereka berdiam, maupun sebagai kawula Kekaisaran Romawi Suci. Zaman penjajahan Burgundia adalah titik awal perjalanan orang Belanda menemukan jati diri sebagai sebuah bangsa.

Usaha dagang Holland mengalami perkembangan pesat, teristimewa di daerah-daerah pengapalan dan pengangkutan. Para penguasa baru memperjuangkan kepentingan-kepentingan dagang orang Belanda. Armada-armada Holland bahkan mampu beberapa kali mengalahkan armada-armada Liga Hansa. Pada abad ke-15, Amsterdam tumbuh menjadi bandar niaga utama untuk komoditas gandum dari kawasan Baltik. Amsterdam menyalurkan gandum ke kota-kota besar di Belgia, kawasan utara Prancis, dan Inggris. Usaha dagang komoditas gandum sangat penting bagi warga Holland, karena gandum yang dihasilkan Holland sudah tidak memadai untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Pengatusan tanah menyebabkan merosotnya permukaan bekas lahan-lahan basah sampai ke taraf yang tidak lagi memungkinkan diteruskannya pengatusan.

Zaman penjajahan wangsa Habsburg Spanyol

sunting
Kiri: Adriaan Florenszoon Boeyens, teolog berpengaruh asal Utrecht yang menjadi salah seorang penasihat Kaisar Karel V, dan kemudian hari terpilih menjadi Paus Hadrianus VI (1522–1523).
Kanan: Desiderius Erasmus (1466–1536), padri, teolog, sekaligus humanis Renaisans asal Rotterdam, potret karya Hans Holbein Muda, 1523.

Kaisar Karel V (1500–1558) lahir dan besar di kota Gent, Kabupaten Vlaanderen. Ia fasih bertutur dalam bahasa Prancis. Karel menambah luas wilayah Kadipaten Burgundia dengan mendaulat Tournai, Artois, Utrecht, Groningen, dan Gelre. Tujuh Belas Provinsi dahulu kala dipersatukan orang-orang besar Burgundia, leluhur Karel, tetapi secara nominal menjadi daerah-daerah pertuanan Prancis atau Kekaisaran Romawi Suci. Selama Karel karel belum akil balig, tugas jabatannya diwakilkan kepada bibinya, Margaretha van Oostenrijk selaku pemangku sampai tahun 1515. Prancis melepaskan klaim lamanya atas Vlaanderen pada tahun 1528.[59]

Dari tahun 1515 sampai 1523, pemerintahan Karel di Negeri Belanda dirongrong pemberontakan kaum tani Friesland (dipimpin Pier Gerlofs Donia dan Wijard Jelckama). Gelre berusaha mendirikan negara sendiri di daerah yang mencakup kawasan timur laut Negeri Belanda dan kawasan barat daya Jerman. Akibat kekurangan dana pada abad ke-16, para prajurit Gelre harus mengisi sendiri pundi-pundinya dengan cara menyerbu dan menjarah daerah lawan. Prajurit-prajurit Gelre menjadi ancaman besar bagi Negeri Belanda Burgundia ketika mereka menyerbu Den Haag.

Dari tahun ke tahun para Adipati Burgundia mengambil alih kekuasaan atas Tujuh Belas Provinsi pembentuk kawasan Negeri-Negeri Rendah baik melalui perkawinan berpamrih, pembelian tanah, maupun lewat perang. Provinsi-provinsi tersebut kini menjadi wilayah Negeri Belanda, Negeri Belanda Selatan (sekarang Belgia), dan Luksemburg. Negeri-negeri yang dikenal dengan sebutan "Lingkungan Burgundia" ini akhirnya dikuasai keluarga Habsburg. Karel (1500–1558) menjadi penguasa Negeri-Negeri Rendah pada tahun 1506. Pada tahun 1515, Karel dinobatkan menjadi Raja Spanyol kemudian dinobatkan pula menjadi Kaisar Romawi Suci. Kekuasaannya atas Negeri-Negeri Rendah ia wakilkan kepada para raja muda (masih terhitung kerabat dekatnya), sehingga pemerintahan Negeri-Negeri Rendah praktis diselenggarakan orang-orang Spanyol yang dapat ia kendalikan sepenuhnya. Setiap provinsi memiliki lembaga pemerintahan dan mahkamah istana masing-masing, yang didominasi kaum menak setempat. Selain itu, tiap-tiap provinsi mengamalkan tradisi sendiri dan memiliki hak-hak istimewa ("kebebasan") sendiri yang sudah berabad-abad usianya. Banyak kota memiliki hak-hak sah dan pemerintahan lokal sendiri, yang biasanya dikendalikan para saudagar. Di atas semuanya itu, bangsa Spanyol memaksakan suatu badan pemerintahan menyeluruh, yakni Dewan Negara Belanda, lengkap dengan pejabat-pejabat dan mahkamah istana sendiri.[60] Para pejabat Spanyol yang diutus Kaisar Karel mengabaikan tradisi dan kaum menak Belanda maupun pejabat-pejabat lokal sehingga menumbuhkan rasa nasionalisme anti-Spanyol yang kemudian hari mengobarkan pemberontakan rakyat Belanda. Ketika gerakan Reformasi Protestan meletus di Negeri Belanda, Karel (saat itu sudah menjadi Kaisar Romawi Suci) bertekad memberantas ajaran Protestan tanpa kompromi. Kerusuhan bermula di kawasan selatan, berpusat di metropolis Antwerpen yang makmur. Negeri Belanda ketika itu merupakan daerah yang kaya di dalam wilayah kedaulatan negara Spanyol, khususnya sesudah penandatanganan Perjanjian Damai Cateau-Cambresis tahun 1559, yang menuntaskan perang Prancis-Spanyol yang sudah berlangsung selama empat dasawarsa, dan memungkinkan Spanyol untuk mereposisi angkatan bersenjatanya.[61]

Dengan menandatangani Perjanjian Burgundia tahun 1548, yang dijuluki "Transaksi Augsburg", Karel mengesahkan status Negeri Belanda sebagai sebuah entitas tempat banyak undang-undang Kekaisaran Romawi Suci tidak berlaku.[62] Berdasarkan Perjanjian ini, terbentuklah Lingkungan Burgundia di dalam Kekaisaran Romawi Suci, yang terdiri atas Negeri Belanda dan Franche-Comté. Setahun kemudian, Karel menerbitkan Sanksi Pragmatik tahun 1549 yang menetapkan bahwa Tujuh Belas Provinsi hanya dapat diwarisi para ahli warisnya sebagai satu entitas yang utuh.[63]

Reformasi Protestan

sunting
 
Halaman judul Statenvertaling tahun 1637, Alkitab bahasa Belanda pertama yang diterjemahkan secara langsung dari bahasa Ibrani dan Yunani sesuai amanat Sinode Dordrecht, dan terus digunakan sampai abad ke-20.

Reformasi Protestan dengan cepat berakar di kawasan utara Eropa pada abad ke-16, teristimewa bentuk Lutheran dan Kalvinisnya.[64] Meskipun mula-mula ditindas, umat Kristen Protestan Belanda akhirnya ditoleransi para penguasa lokal. Pada tahun-tahun era 1560-an, komunitas Protestan sudah sangat berpengaruh di Negeri Belanda, sekalipun masih merupakan kelompok minoritas.[65] Di dalam masyarakat yang menggantungkan hidup pada usaha dagang, kebebasan dan toleransi dianggap sangat penting. Meskipun demikian, para penguasa Negeri Belanda yang beragama Kristen Katolik, yakni Kaisar Karel V, dan kemudian hari Raja Filips II, merasa wajib memberantas ajaran Protestan, yang merupakan salah satu bidah dalam pandangan Gereja Katolik, sekaligus suatu ancaman terhadap stabilitas keseluruhan sistem politik hierarkis. Di lain pihak, umat Kristen Protestan Belanda yang sangat mengutamakan moralitas tetap berpegang teguh pada teologi Alkitabiah mereka. Kesalehan yang tulus ikhlas dan hidup bersahaja dianggap lebih mulia secara moral daripada kebiasaan bermewah-mewahan dan beragama secara lahiriah yang jamak di kalangan menak gerejawi.[66] Hukuman-hukuman berat yang digunakan para penguasa untuk memberantas ajaran Protestan menjadi penyebab dari meningkatnya kekesalan rakyat di Negeri Belanda, padahal pemerintah-pemerintah lokal di Negeri Belanda sudah memutuskan untuk menerapkan kebijakan hidup berdampingan secara damai. Pada kurun waktu seperdua akhir dari abad ke-16, situasi berubah genting. Raja Filips II mengerahkan pasukan demi pasukan untuk memadamkan pemberontakan dan mengkatolikkan kembali Negeri Belanda.[67]

Saat berlangsungnya Reformasi Protestan gelombang pertama, ajaran Lutheran sempat memikat kalangan elit di Antwerpen dan kawasan selatan, tetapi ajaran ini akhirnya diberantas Spanyol sehingga hanya berkembang di Oost-Friesland.[68]

Gerakan Reformasi Protestan gelombang kedua muncul dalam bentuk ajaran Anabaptis, yang populer di kalangan petani jelata di Holland dan Friesland. Kaum Anabaptis secara sosial sangat radikal dan menjunjung tinggi kesetaraan derajat, serta percaya bahwa hari kiamat sudah sangat dekat. Mereka menolak tatanan kehidupan yang lama, dan membentuk komunitas-komunitas baru, sehingga lumayan menimbulkan kekacauan. Salah seorang tokoh Anabaptis Belanda yang terkemuka adalah Menno Simons, perintis gereja Menonit. Gerakan ini diberi keleluasaan di kawasan utara, tetapi tidak kunjung berkembang dalam skala besar.[69]

Reformasi Protestan gelombang ketiga, yang pada akhirnya terbukti berdampak permanen, adalah Kalvinisme. Ajaran Kalvinis tiba di Negeri Belanda pada tahun-tahun era 1540-an, dan berhasil memikat kalangan elit maupun masyarakat umum, khususnya di Vlaanderen. Spanyol menanggapi perkembangan ini dengan melancarkan persekusi dan membentuk lembaga inkuisisi di Negeri Belanda. Kaum Kalvinis memberontak, mula-mula dalam bentuk aski ikonoklasme pada tahun 1566, yakni perusakan sistematis terhadap arca-arca orang kudus dan citra-citra agamawi Katolik lainnya di gereja-gereja. Pada tahun 1566, Willem van Oranje, seorang Kalvinis, mengobarkan Perang Delapan Puluh Tahun demi memerdekakan seluruh rakyat Belanda tanpa pandang agama dari penjajahan Spanyol. Menurut Jerome Blum, "kesabaran, toleransi, kebulatan tekad, dan keprihatinannya terhadap nasib bangsanya, serta keyakinannya akan pemerintahan yang berasaskan mufakat rakyat mampu mempersatukan rakyat Belanda dan menjaga semangat juang mereka terus berkobar."[70] Provinsi Holland dan Provinsi Zeeland, yang mayoritas menjadi Kalvinis pada tahun 1572, tunduk di bawah kepemimpinan Willem. Swapraja-swapraja selebihnya tetap mayoritas Katolik.[71][72]

Menjelang perang kemerdekaan

sunting
Para karyawan tekstil di Leiden, lukisan karya Isaac van Swanenburg, 1595.
Willem van Oranje, yang dijuluki Willem Si Pendiam.
Negeri-Negeri Rendah 1559-1609.

Negeri Belanda adalah daerah yang bernilai tinggi di dalam wilayah Kekaisaran Spanyol, khususnya sesudah penandatanganan Perjanjian Damai Cateau-Cambresis tahun 1559. Perjanjian ini mengakhiri kurun waktu empat puluh tahun peperangan antara Prancis dan Spanyol yang berlangsung di Italia dari tahun 1521 sampai 1559.[61] Perjanjian Damai Cateau-Cambresis merupakan semacam titik balik sejarah, bukan saja di Italia selaku medan perang, melainkan juga di kawasan utara Eropa. Spanyol sudah menyiagakan pasukan-pasukannya di Negeri Belanda sebagai ancang-ancang untuk menyerang Prancis dari utara sekaligus dari selatan.

Dengan tuntasnya berbagai masalah besar di antara Prancis dan Spanyol dengan penandatanganan Perjanjian Damai Cateau-Cambresis, tidak ada lagi alasan bagi Spanyol untuk mempertahankan keberadaan pasukan-pasukannya di Negeri Belanda. Dengan demikian, masyarakat di Negeri Belanda dapat kembali melanjutkan kegiatan-kegiatan yang lazimnya mereka lakukan pada masa damai. Ketika itulah mereka mengetahui bahwa ada banyak sekali permintaan pasar atas barang-barang jualan mereka. Usaha penangkapan ikan sudah lama menjadi bagian penting dari ekonomi Negeri Belanda. Meskipun demikian, kini usaha penangkapan ikan haring saja sudah melibatkan 2.000 perahu yang berpangkalan di berbagai pelabuhan Negeri Belanda. Spanyol, yang masih menjadi pelanggan utama para usahawan Belanda, membeli berbagai perabot dan perkakas rumah tangga yang diangkut dengan 50 kapal besar dari saudagar-saudagar Vlaanderen. Selain itu, barang-barang wol buatan Belanda sangat disukai di mana-mana. Negeri Belanda memborong cukup banyak wol dari Spanyol, yang kemudian diolah menjadi barang-barang wol senilai 4 juta florin yang dijual saudagar-saudagar Brugge. Besarnya kebutuhan wol mentah ketika itu membuat para usahawan Belanda memborong pula wol dari Inggris hampir sebanyak jumlah wol yang diborong dari Spanyol. Tolai nilai perdagangan dengan Inggris saja sudah mencapai 24 juta florin. Sebagian besar dari kegiatan ekspor ke Inggris mendatangkan laba bersih bagi para usahawan Belanda karena barang-barang yang diekspor adalah buatan mereka sendiri. Negeri Belanda sudah sampai ke depan pintu gerbang Zaman Keemasan-nya. Brabant dan Vlaanderen adalah daerah-daerah terkaya dan termaju di Republik Belanda ketika itu.[73] Negeri Belanda merupakan salah satu negeri terkaya di muka bumi, dengan jumlah populasi yang mencapai 3 juta jiwa pada tahun 1560. Negeri belanda menjadi negeri dengan kawasan perkotaan terbesar di daratan Eropa, karena memiliki 25 kota besar yang dihuni 10.000 warga atau lebih, teristimewa Antwerpen, pusat usaha dagang dan keuangan, dengan populasi mencapai 100.000 jiwa. Spanyol tidak ingin negeri yang kaya ini lepas dari cengkeramannya, dan enggan membiarkannya lepas dari kendali Gereja Katolik. Inilah pangkal dari perang yang berkecamuk selama delapan puluh tahun.

Selaku seorang pemeluk agama Kristen Katolik yang taat, Raja Filips benar-benar gusar melihat keberhasilan gerakan Reformasi Protestan di Negeri-Negeri Rendah, yang memicu pertambahan jumlah umat Kalvinis. Upaya paksanya untuk menindas umat Protestan, menyentralisasi pemerintahan, menegakkan hukum, dan mengutip pajak, membuat rakyat membencinya dan mengobarkan pemberontakan. Fernando Alvarez de Toledo, Adipati Alba ke-3, diutus bersama sepasukan tentara Spanyol untuk menghukum orang-orang Belanda pembangkang pada tahun 1567.[74]

Satu-satunya pihak yang membendung sepak terjang Adipati Alba di Negeri Belanda adalah para menak seperti Lamoraal van Egmont, Filips van Horne, dan lain-lain. Saat pergerakan pasukan Adipati Alba semakin dekat, Willem Si Pendiam mengungsi bersama seluruh keluarga dan ketiga saudaranya ke Jerman pada tanggal 11 April 1567. Adipati Alba mengundang kaum menak yang mengadang pergerakan pasukannya untuk bertatap muka dan berunding. Begitu tiba di Brussels, mereka semua ditahan, sementara Lamoraal van Egmont dan Filips van Horne dihukum mati.[74] Adipati Alba selanjutnya membatalkan semua penjanjian yang pernah disepakati Margarita, Istri Adipati Parma, dengan umat Protestan Negeri Belanda, serta membentuk lembaga inkuisisi untuk memberlakukan keputusan-keputusan Konsili Trente.

Perang Delapan Puluh Tahun (1568–1648)

sunting
 
Pangeran Maurits dalam Pertempuran Nieuwpoort tahun 1600, lukisan karya Paulus van Hillegaert
 
Leo Belgicus, peta Negeri-Negeri Rendah yang digambar sedemikian rupa sehingga menyerupai seekor singa, karya Claes Jansz. Visscher (II), tahun 1609

Perang kemerdekaan Belanda dari penjajahan Spanyol kerap disebut Perang Delapan Puluh Tahun (1568–1648). Lima puluh tahun pertama (1568–1618) adalah kurun waktu konflik yang murni melibatkan Spanyol dan Negeri Belanda. Selama tiga puluh tahun berikutnya (1618–1648), konflik antara Spanyol dan Negeri Belanda menyatu dengan perang besar di Eropa yang kemudian hari disebut Perang Tiga Puluh Tahun.[75] Ketujuh provinsi di Negeri Belanda yang memberontak pada akhirnya menyepakati perjanjian persatuan Uni Utrecht tahun 1579 dan mendirikan negara Republik Serikat Tujuh Negeri Belanda (atau Perserikatan Provinsi-Provinsi). Undang-Undang Pemisahan Diri (bahasa Belanda: Plakkaat van Verlatinghe) disahkan pada tanggal 26 Juli 1581, dan merupakan deklarasi kemerdekaan resmi Negeri-Negeri Rendah dari kekuasaan Raja Spanyol.

Willem van Oranje (Slot Dillenburg, 24 April 1533 – Delft, 10 Juli 1584), cikal bakal keluarga Kerajaan Belanda, memimpin orang Belanda dalam bagian pertama Perang Delapan Puluh Tahun sesudah Egmont dan Horn wafat pada tahun 1568. Pada tahun-tahun permulaan perang, angkatan perang Spanyol berada di atas angin, tetapi orang Belanda akhirnya mampu mematahkan aksi-aksi pengepungan Spanyol di Holland. Pada bulan November dan Desember 1572, seluruh warga Zutphen dan Naarden tewas dibantai Spanyol. Kota Haarlem dikepung mulai tanggal 11 Desember 1572 sampai tanggal 13 Juli 1573. Oudewater ditundukkan Spanyol pada tanggal 7 Agustus 1575, dan sebagian besar warganya tewas terbunuh. Maastricht dikepung, dijarah, dan dihancukan Spanyol dua kali berturut-turut (pada tahun 1576 dan pada tahun 1579).

Di dalam perang yang lebih banyak melibatkan aksi pengepungan daripada pertempuran ini, Gubernur Jenderal Alessandro Farnese membuktikan ketangguhannya. Strateginya adalah menjanjikan keringanan-keringanan kepada kota yang bersedia menyerah, yakni tidak akan ada lagi pembantaian dan penjarahan, hak-hak istimewa kota tidak akan dihapuskan, pengampunan dan amnesti penuh akan diberikan, dan warga akan diizinkan untuk kembali ke Gereja Katolik secara perlahan-lahan. Umat Katolik konservatif di kawasan selatan dan timur Negeri Belanda mendukung Spanyol. Farnese berhasil merebut kembali Antwerpen dan hampir semua daerah yang sekarang menjadi bagian dari wilayah negara Belgia.[76] Sebagian besar daerah penutur bahasa Belanda di Negeri Belanda disebut dari Spanyol, kecuali daerah Vlaanderen, yang sampai sekarang menjadi bagian dari wilayah negara Belgia. Vlaanderen adalah daerah yang sangat anti Spanyol. Banyak orang Vlaam mengungsi ke Holland, termasuk setengah populasi Antwerpen, 3/4 populasi Brugge dan Gent, serta seluruh populasi Nieuwpoort, Duinkerke, dan desa-desa di Vlaanderen.[77] Keberhasilan Alessandro Farnese membuat umat Katolik menguasai paruhan selatan dari kawasan Negeri-Negeri Rendah, dan merupakan bagian dari gerakan Kontra Reformasi.

Perang berlarut-larut sampai setengah abad lagi, tetapi pertarungan utama sudah usai. Perjanjian Damai Westfalen, yang ditandatangani pada tahun 1648, mengukuhkan kemerdekaan Perserikatan Provinsi-Provinsi dari penjajahan Spanyol. Orang Belanda mulai mengembangkan jati diri bangsa sejak abad ke-15, tetapi secara resmi masih menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi Suci sampai tahun 1648. Jati diri bangsa lebih banyak dibentuk oleh provinsi, dan Holland merupakan provinsi yang terpenting ketika itu. Inilah sebabnya Republik Tujuh Provinsi akhirnya dikenal di seluruh Eropa dengan nama Holland.

Umat Katolik di Negeri Belanda adalah warga minoritas yang dipinggirkan dan ditindas umat Kalvinis. Meskipun demikian, selepas tahun 1572, umat Katolik secara mencolok kembali tampil mengemuka (juga sebagai bagian dari gerakan Kontra Reformasi), mendirikan seminari-seminari, memperbaharui Gereja mereka, dan menyebar misionaris ke daerah-daerah Protestan. Kiprah umat Katolik Belanda kerap dipimpin tokoh awam, karena pemerintah Kalvinis getol menangkap atau menghalang-halangi para padri yang tampak terlalu berhasil menarik pengikut baru dari kalangan Kalvinis. Jumlah umat Katolik bertambah sampai akhirnya mencapai kira-kira sepertiga dari populasi Negeri Belanda. Umat Katolik menjadi umat mayoritas di kawasan selatan.[78][79]

Zaman Keemasan

sunting
 
Peta Republik Belanda karya Jan Janszoon

Selama Perang Delapan Puluh Tahun berlangsung, provinsi-provinsi Belanda menjadi pusat-pusat dagang yang paling penting di kawasan utara Eropa menggantikan Vlaanderen. Pada Zaman Keemasan ini, usaha dagang, industri, seni rupa, maupun ilmu pengetahuan di Negeri Belanda berkembang pesar. Pada abad ke-17 dan ke-18, boleh dikata bangsa Belanda adalah bangsa termakmur dalam bidang ekonomi dan termaju dalam bidang ilmu pengetahuan dibanding semua bangsa lain di Eropa. Bangsa baru yang secara resmi berpaham Kalvinis ini mengalami perkembangan budaya dan ekonomi, sehingga melahirkan apa yang diistilahkan sejarawan Simon Schama dengan "embarrassment of riches" (jengah kaya).[80] Spekulasi dalam usaha dagang tulip berbuntut pada kejatuhan pasar saham yang pertama pada tahun 1637, tetapi krisis ekonomi cepat teratasi. Semua perkembangan inilah yang membuat abad ke-17 dijuluki Zaman Keemasan Negeri Belanda.

Reka cipta[81] kilang gergaji memungkinkan kapal dibuat dalam jumlah besar untuk dipakai berdagang ke seluruh dunia dan melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi Republik Belanda dengan kekuatan militer. Industri-industri nasional seperti galangan-galangan kapal dan pabrik-pabrik gula turut pula berkembang.

 
Les Anatomi dari Dr. Nicolaes Tulp, lukisan karya Rembrandt van Rijn, 1632

Bangsa Belanda, yang turun-temurun terbiasa melaut dan mahir membuat peta,[82] kian tampil mengemuka di kancah perdagangan dunia, menggeser bangsa Portugis dan bangsa Spanyol. Pada tahun 1602, Serikat Perusahaan Hindia Timur (bahasa Yunani: Verenigde Oostindische Compagnie, disingkat VOC) didirikan. VOC adalah badan usaha multinasional pertama di dunia, dan didanai dari hasil penjualan saham. Kegiatan jual beli saham VOC merupakan bursa saham modern pertama di dunia. VOC menjadi perusahaan dagang terbesar di dunia pada abad ke-17. Untuk mendanai usaha dagang yang kian berkembang di Negeri Belanda, Bank Amsterdam didirikan pada tahun 1609. Bank Amsterdam adalah cikal bakal, atau mungkin juga adalah bank sentral sejati yang pertama di dunia.[83]

Kapal-kapal Belanda berburu paus di perairan Svalbard, berdagang rempah-rempah di India dan Indonesia (melalui VOC), dan mendirikan koloni-koloni di Nieuw Amsterdam (sekarang New York), Afrika Selatan, dan Hindia Barat. Selain itu, bangsa Belanda juga merebut sejumlah koloni Portugis, misalnya koloni-koloni Portugis di kawasan timur laut Brazil, Angola, Indonesia, dan Sailan. Pada tahun 1640, VOC mulai memonopoli perdagangan dengan Jepang melalui pos dagang di Dejima.

Bangsa Belanda juga mendominasi perdagangan antarnegara di Eropa.

Kekaisaran bangsa Belanda

sunting

Bangsa Belanda di Benua Amerika

sunting
 
Nieuw Amsterdam pada tahun 1664

Geoctroyeerde Westindische Compagnie (Perusahaan Hindia Barat Berizin) adalah badan usaha berizin yang beranggotakan para saudagar Belanda. Pada tanggal 2 Juni 1621, serikat dagang ini diberi izin memonopoli perdagangan di Hindia Barat (Kepulauan Karibia) oleh pemerintah Republik Serikat Tujuh Negeri Belanda dan diserahi kewenangan hukum atas usaha perdagangan budak Afrika, Brazil, Kepulauan Karibia, dan Amerika Utara. Daerah operasinya membentang dari Afrika Barat sampai ke Benua Amerika dan Kepulauan Pasifik. Perusahaan ini sangat besar jasanya bagi usaha kolonisasi bangsa Belanda di Benua Amerika. Benteng-benteng dan permukiman-permukiman pertama bangsa Belanda di Guyana dan Sungai Amazon didirikan pada era 1590-an. Usaha kolonisasi bangsa Belanda tidak segiat Inggris dan Prancis. Banyak permukiman bangsa Belanda yang hilang atau ditinggalkan pada akhir abad itu, tetapi Negeri Belanda mampu melanggengkan kepemilikannya atas Suriname dan beberapa pulau di Karibia.

Lihat pula

sunting

Rujukan

sunting
  1. ^ "Neanderthal may not be the oldest Dutchman | Radio Netherlands Worldwide". Rnw.nl. Diakses tanggal 25 Maret 2012. 
  2. ^ "Neanderthal fossil discovered in Zeeland province | Radio Netherlands Worldwide". Rnw.nl. 16 Juni 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 Mei 2014. Diakses tanggal 25 Maret 2012. 
  3. ^ Van Zeist, W. (1957), "De steentijd van Nederland", Nieuwe Drentse Volksalmanak, 75: 4–11 
  4. ^ a b "The Mysterious Bog People – Background to the exhibition". Canadian Museum of Civilization Corporation. 5 Juli 2001. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 Maret 2007. Diakses tanggal 1 Juni 2009. 
  5. ^ a b Louwe Kooijmans, L.P., "Trijntje van de Betuweroute, Jachtkampen uit de Steentijd te Hardinxveld-Giessendam", 1998, Spiegel Historiael 33, hlmn. 423–428
  6. ^ Volkskrant 24 Agustus 2007 "Lahan bercocok tanam prasejarah ditemukan di Swifterbant, 4300–4000 SM"
  7. ^ Raemakers, Daan. "De spiegel van Swifterbant Diarsipkan 10 April 2008 di Wayback Machine.", Universitas Groningen, 2006.
  8. ^ Dalam J.H.F. Bloemers & T. van Dorp (penyunting), Pre- & protohistorie van de lage landen. De Haan/Open Universiteit, 1991. ISBN 90-269-4448-9, NUGI 644
  9. ^ Lanting, J.N. & J.D. van der Waals, (1976), "Beaker culture relations in the Lower Rhine Basin", dalam Lanting dkk. (penyunting) Glockenbechersimposion Oberried 1974. Bussum-Haarlem: Uniehoek N.V.
  10. ^ Hlm. 93, dalam J. P. Mallory dan John Q. Adams (penyunting), The Encyclopedia of Indo-European Culture, Fitzroy Dearborn, 1997.
  11. ^ Menurut o "Het Archeologisch Basisregister" (ABR), versi 1.0 November 1992, [1], Elp Kümmerkeramik diberi tarikh BRONSMA (awal MBA) sampai BRONSL (LBA) dan perkiraan tarikh ini telah distandardisasi "De Rijksdienst voor Archeologie, Cultuurlandschap en Monumenten" (RACM)" sebagai kurun waktu yang berawal pada 1800 SM dan berakhir pada 800 SM.
  12. ^ Mallory, J.P., In Search of the Indo-Europeans: Language, Archaeology and Myth, London: Thames & Hudson, 1989, hlm. 87.
  13. ^ Butler, J.J., Nederland in de bronstijd, Bussum: Fibula-Van Dishoeck, 1969}}.
  14. ^ a b Kinder, Hermann dan Werner Hilgemann, The Penguin Atlas of World History; diterjemahkan Ernest A. Menze ; dengan peta-peta yang dirancang Harald dan Ruth Bukor. Harmondsworth: Penguin Books. ISBN 0-14-051054-0 Jilid 1. hlm. 109.
  15. ^ The New Encyclopaedia Britannica, edisi ke-15, 20:67
  16. ^ a b c Verhart, Leo Op Zoek naar de Kelten, Nieuwe archeologische ontdekkingen tussen Noordzee en Rijn, ISBN 90-5345-303-2, 2006, hlmn. 67, 81–82
  17. ^ The New Encyclopædia Britannica, edisi ke-15, 22:641–642
  18. ^ a b c d e f g de Vries, Jan W., Roland Willemyns and Peter Burger, Het verhaal van een taal, Amsterdam: Prometheus, 2003, hlmn. 12, 21–27
  19. ^ Cunliffe, Barry. The Ancient Celts. Penguin Books, 1997, hlmn. 39–67.
  20. ^ Achtergrondinformatie bij de muntschat van Maastricht-Amby, Kotapraja Maastricht, 2008.
  21. ^ Unieke Keltische muntschat ontdekt in Maastricht Diarsipkan 2012-04-02 di Wayback Machine., Archeonet.be, 15 November 2008. Diakses 6 Oktober 2011.
  22. ^ a b Het urnenveld van het Meijerink, Kotapraja Zutphen, Diakses Oktober 20116.
  23. ^ Delrue, Joke, Universitas Gent
  24. ^ van Durme, Luc, "Oude taaltoestanden in en om de Nederlanden. Een reconstructie met de inzichten van M. Gysseling als leidraad" dalam Handelingen van de Koninklijke commissie voor Toponymie en Dialectologie, LXXV/2003.
  25. ^ Hachmann, Rolf, Georg Kossack and Hans Kuhn, Völker zwischen Germanen und Kelten, 1986, hlmn. 183–212
  26. ^ a b Lendering, Jona, "Germania Inferior" Diarsipkan 2020-06-07 di Wayback Machine., Livius.org. Diakses 6 Oktober 2011.
  27. ^ "C. Julius Caesar, Gallic War, Buku 4, bab 10". www.perseus.tufts.edu.  line feed character di |title= pada posisi 19 (bantuan)
  28. ^ Cornelius Tacitus, Germany and its Tribes 1.29
  29. ^ Nico Roymans, Ethnic Identity and Imperial Power. The Batavians in the Early Roman Empire. Amsterdam Archaeological Studies 10. Amsterdam, 2004. Bab 4. Lihat pula hlm. 249.
  30. ^ Plin. Nat. 4.29
  31. ^ Roymans, Nico, Ethnic Identity and Imperial Power: The Batavians in the Early Roman Empire, Amsterdam: Lembaga Pers Universitas Amsterdam, 2005, hlmn. 226–27
  32. ^ Historiae, Tacitus, 109 M, diterjemahkan Alfred John Church dan William Jackson Brodribb.
  33. ^ a b Beyen, Marnix, "A Tribal Trinity: the Rise and Fall of the Franks, the Frisians and the Saxons in the Historical Consciousness of the Netherlands since 1850" in European History Quarterly 2000 30(4):493–532. ISSN 0265-6914 Fulltext: EBSCO
  34. ^ a b c Previté-Orton, Charles, The Shorter Cambridge Medieval History, jld. I, hlmn. 51–52, 151
  35. ^ Grane, Thomas (2007), "From Gallienus to Probus – Three decades of turmoil and recovery", The Roman Empire and Southern Scandinavia–a Northern Connection! (PhD thesis), Copenhagen: Universitas Copenhagen, hlm. 109 
  36. ^ Looijenga, Jantina Helena (1997), "History, Archaeology and Runes", dalam SSG Uitgeverij, Runes Around the North Sea and on the Continent AD 150–700; Texts and Contexts (disertasi PhD) (PDF), Groningen: Universitas Groningen, hlm. 30, ISBN 90-6781-014-2, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2005-05-02, diakses tanggal 2018-08-09 . Untuk kesimpulan ini, Looijenga mengutip D.A. Gerrets (1995), "The Anglo-Frisian Relationship Seen from an Archaeological Point of View" dalam Friesische studien 2, hlmn. 119–128.
  37. ^ a b Berglund, Björn E. (2002), "Human impact and climate changes – synchronous events and a causal link?", Quaternary International, 105 (1), Elsevier (dipublikasikan tanggal 2003), hlm. 10 
  38. ^ a b Ejstrud, Bo; et al. (2008), Ejstrud, Bo; Maarleveld, Thijs J., ed., The Migration Period, Southern Denmark and the North Sea, Esbjerg: Maritime Archaeology Programme, ISBN 978-87-992214-1-7 
  39. ^ a b Issar, Arie S. (2003), Climate Changes during the Holocene and their Impact on Hydrological Systems, Cambridge: Universitas Cambridge, ISBN 978-0-511-06118-9 
  40. ^ a b Louwe Kooijmans, L. P. (1974), The Rhine/Meuse Delta. Four studies on its prehistoric occupation and Holocene geology (disertasi PhD), Leiden: Lembaga Pers Universitas Leiden 
  41. ^ Bazelmans, Jos (2009), "The early-medieval use of ethnic names from classical antiquity: The case of the Frisians", dalam Derks, Ton; Roymans, Nico, Ethnic Constructs in Antiquity: The Role of Power and Tradition, Amsterdam: Universitas Amsterdam, hlm. 321–337, ISBN 978-90-8964-078-9, diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-08-30, diakses tanggal 2018-08-09 
  42. ^ Frisii en Frisiaevones, 25–08–02 (bahasa Belanda) Diarsipkan 3 Oktober 2011 di Wayback Machine., Bertsgeschiedenissite.nl. Diakses 6 Oktober 2011
  43. ^ Kortlandt, Frederik (1999). "The origin of the Old English dialects revisited" (PDF). Universitas Leiden. 
  44. ^ Willemsen, A. (2009), Dorestad. Een wereldstad in de middeleeuwen, Walburg Pers, Zutphen, pp. 23–27, ISBN 978-90-5730-627-3
  45. ^ a b MacKay, Angus; David Ditchburn (1997). Atlas of Medieval Europe. Routledge. hlm. 57. ISBN 0-415-01923-0. 
  46. ^ a b Hodges, Richard; David Whitehouse (1983). Mohammed, Charlemagne and the Origins of Europe. Lembaga Pers Universitas Cornell. hlm. 99. ISBN 978-0-8014-9262-4. 
  47. ^ a b c d e f Milis, L.J.R., "A Long Beginning: The Low Countries Through the Tenth Century" dalam J.C.H. Blom & E. Lamberts History of the Low Countries, hlmn. 6–18, Berghahn Books, 1999. ISBN 978-1-84545-272-8.
  48. ^ Holmes, U.T dan A. H. Schutz (1938), A History of the French Language, hlm. 29, Biblo & Tannen Publishers, ISBN 0-8196-0191-8
  49. ^ Blok, D.P. (1974), De Franken in Nederland, Bussum: Unieboek, 1974, hlmn. 36–38 mengenai ketidakpastian jati diri orang Frisia dalam sumber-sumber Franka terdahulu; hlmn. 54–55 mengenai masalah-masalah terkait “Saksen” sebagai sebuah nama suku.
  50. ^ van Eijnatten, J. dan F. van Lieburg, Nederlandse religiegeschiedenis (Hilversum, 2006), hlmn. 42–43, mengenai ketidakpastian jati diri "orang Frisia" dalam sumber-sumber Franka terdahulu.
  51. ^ de Nijs, T, E. Beukers dan J. Bazelmans, Geschiedenis van Holland (Hilversum, 2003), hlmn. 31–33 mengenai sifat fluktuatif dari ciri khas kesukuan dan kesukubangsaan pada kurun waktu Abad Pertengahan Awal.
  52. ^ Blok (1974), hlmn. 117 ff.; de Nijs dll. (2003), hlmn. 30–33
  53. ^ van der Wal, M., Geschiedenis van het Nederlands, 1992
  54. ^ "Charlemagne: Court and administration". Encyclopædia Britannica.  ("Karel Agung mengandalkan palatium, yakni sebuah majelis dengan anggota yang senantiasa berganti-ganti, terdiri atas kerabat, pengiring kepercayaan dari kalangan rohaniwan maupun nonrohaniwan, dan bermacam-macam pengikut. Orang-orang ini membentuk suatu majelis istana yang berpindah-pindah tempat mengikuti perjalanan sang raja bilamana sedang melancarkan kampanye-kampanye militer, dan berusaha mencari keuntungan dari penghasilan lahan-lahan yasan milik raja yang tersebar di mana-mana.")
  55. ^ Informasi lebih lanjut menganai serbuan-serbuan orang Viking tersaji daring di L. van der Tuuk, Gjallar. Noormannen in de Lage Landen
  56. ^ Baldwin, Stephen, "Wangsa Harald asal Denmark di Friesland pada abad ke-9". Temu balik tanggal 9 Oktober 2011.
  57. ^ "Vikingschat van Wieringen" Diarsipkan 18 July 2011 di Wayback Machine., Museumkennis.nl. Temu balik tanggal 9 Oktober 2011.
  58. ^ Jesch, Judith, Ships and Men in the Late Viking Age: The Vocabulary of Runic Inscriptions and Skaldic Verse, Boydell & Brewer, 2001. ISBN 978-0-85115-826-6. hlm. 82.
  59. ^ James D. Tracy (2002). Emperor Charles V, Impresario of War: Campaign Strategy, International Finance, and Domestic Politics. Cambridge U.P. hlm. 258. ISBN 9780521814317. 
  60. ^ H.G. Koenigsberger, "The Beginnings of the States General of the Netherlands," Parliaments, Estates and Representation (1988) 8#2 hlmn. 101–114.
  61. ^ a b Albert Guerard, France, A Modern History, (1959), hlmn. 134–136.
  62. ^ Martin van Gelderen (2002). The Political Thought of the Dutch Revolt 1555-1590. Cambridge U.P. hlm. 18. ISBN 9780521891639. 
  63. ^ Kamen, Henry (2005). Spain, 1469–1714: a society of conflict (edisi ke-3rd). Harlow, United Kingdom: Pearson Education. ISBN 0-582-78464-6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 March 2017. 
  64. ^ R. Po-chia Hsia (penyunting). A Companion to the Reformation World (2006) hlmn. 118–134
  65. ^ Jonathan I. Israel, The Dutch Republic Its Rise, Greatness, and Fall 1477–1806 (1995) hlm. 104
  66. ^ Hsia, (penyunting). A Companion to the Reformation World (2006) hlmn. 3–36
  67. ^ Israel, The Dutch Republic Its Rise, Greatness, and Fall 1477–1806 (1995) hlm. 155
  68. ^ Israel, The Dutch Republic: Its Rise, Greatness, and Fall, 1477–1806 (1995) hlmn. 374–375
  69. ^ Israel, The Dutch Republic: Its Rise, Greatness, and Fall, 1477–1806 (1995) hlmn. 86–91
  70. ^ Jerome Blum dkk., The European World: A History (1970) hlmn. 160-161
  71. ^ Israel, The Dutch Republic: Its Rise, Greatness, and Fall, 1477–1806 (1995) hlmn. 361–395
  72. ^ Diarmaid MacCulloch, The Reformation (2005) hlmn. 367–372
  73. ^ Claflin, W. Harold, (penyunting). History of Nations: Holland and Belgium, (New York: P.F. Collier & Son, 1907), hlmn. 72–74, 103–105
  74. ^ a b John Lathrop Motley, The Rise of the Dutch Republic (Harper & Bros.: New York, 1855) hlmn. 106–115, 121, 122, 207, 213
  75. ^ Geoffrey Parker (penyunting), The Thirty Years' War, New York: Routledge Press, 1987, hlm. 2.
  76. ^ Violet Soen, "Reconquista and Reconciliation in the Dutch Revolt: The Campaign of Governor-General Alexander Farnese (1578-1592)," Journal of Early Modern History (2012) 16#1 hlmn. 1–22.
  77. ^ Bart de Groof, "Alexander Farnese and the Origins of Modern Belgium," Bulletin de l'Institut Historique Belge de Rome (1993) Jld. 63, hlmn. 195–219.
  78. ^ Baca peta agama
  79. ^ Charles H. Parker, Faith on the Margins: Catholics and Catholicism in the Dutch Golden Age (Lembaga Pers Universitas Harvard, 2008)
  80. ^ Schama, Simon, The Embarrassment of Riches, Bath: William Collins & Sons, 1987. Di hlm. 8: "Kesuksesan mereka yang luar biasa itu meluap sampai ke ubun-ubun, tetapi membuat mereka sedikit muak. Bahkan dokumen-dokumen bermegah diri mereka yang paling tidak sungkan mengumbar pujian sekalipun dihantui bayang-bayang overvloed, kelimpahan yang meninggi laksana banjir bandang – suatu dunia yang jenuh dengan wanti-wanti sekaligus euforia... Akan tetapi pada akhirnya suara hati nurani yang terus-menerus menyengat rasa puas diri melahirkan kesadaran yang kita maknai sebagai rasa jengah."
  81. ^ Menurut "Haarlemmermeer boeck" karangan Jan Adriaanszoon Leeghwater, Kilang gergaji (bahasa Ndebele Utara: saagmolen) direka cipta di Uitgeest
  82. ^ Peta-peta yang digunakan Fernando Álvarez de Toledo, Adipati Alba ke-3 untuk menyerbu kota-kota Belanda lewat laut maupun darat adalah peta-peta buatan orang-orang Belanda sendiri.
  83. ^ Quinn, Stephen. Roberds, William. The Big Problem of Large Bills: The Bank of Amsterdam and the Origins of Central Banking. Agustus 2005."Archived copy" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 23 July 2011. Diakses tanggal 8 June 2011. 

Bahan bacaan lanjutan

sunting

Lihat pula: Kepustakaan sejarah Belanda [nl]

Geografi dan lingkungan hidup

sunting
  • Burke, Gerald L. The making of Dutch towns: A study in urban development from the 10th–17th centuries (1960)
  • Lambert, Audrey M. The Making of the Dutch Landscape: An Historical Geography of the Netherlands (1985); berfokus pada sejarah reklamasi daratan
  • Meijer, Henk. Compact geography of The Netherlands (1985)
  • Riley, R. C., and G. J. Ashworth. Benelux: An Economic Geography of Belgium, the Netherlands, and Luxembourg (1975) daring

Pranala luar

sunting