Sebuah dokumentasi sejarah yang menarik tentang para prajurit Indo yang hidup di dua dunia. Peter Van Dongen membuka jendela ke masa lalu, potre4.25/5
Sebuah dokumentasi sejarah yang menarik tentang para prajurit Indo yang hidup di dua dunia. Peter Van Dongen membuka jendela ke masa lalu, potret sejarah yang bergejolak di Indonesia era 1946-1950.
Johan Knevel, seorang prajurit Indo Belanda, memutuskan untuk ikut dalam misi militer di Indonesia. Demi menelusuri jejak pengasuh dari masa kecil yang ia rindukan, Johan mencuri identitas seorang rekan prajuritnya yang juga berdarah Indo. Namun ia selalu mendapati dirinya terjebak dalam berbagai situasi tegang antara pejuang kemerdekaan Indonesia, golongan komunis, dan otoritas militer Belanda. Bagaikan seekor harimau yang terjebak dalam ritual Rampokan, Johan harus memutuskan untuk bertarung atau melarikan diri.
Peter Van Dongen adalah pencerita visual yang ulung. Panel-panelnya kaya akan detail dan imaji-imaji simbolis. Sayangnya, panel-panel berdialog sering ditempatkan dengan urutan yang aneh dan agak sulit diikuti. Dialog dan karakterisasinya pun sering terkesan kaku, meskipun ini bisa jadi merupakan kasus terjemahan yang gagal menangkap nuansa Bahasa Belanda dengan sempurna.
---
Fascinating historical documentation on Indo (half-Dutch, half-Indonesian) soldiers who lived in two worlds. Peter Van Dongen opened a window to the past, a portrait of history full of turmoil in Indonesia during 1946-1950.
Johan Knevel, a Dutch Indo soldier, decided to join a military mission in Indonesia. For the sake of trace the status of the childhood nanny he missed, Johan stole the identity of a fellow Dutch Indo soldier. However, he always found himself trapped in various perilous standoffs between the Indonesian independence army, the communists, and the Dutch military authorities. Like a tiger trapped in Rampokan ritual, Johan had to choose between fight or flight.
Peter Van Dongen is a masterful visual storyteller. His panels are rich in details and symbolic imageries. Unfortunately, the dialogued panels are often placed in a weird and hard-to-follow sequence. His dialogue and characterisations can also be wooden at times, although this can be a case of imperfect translation of Dutch language nuances....more
Sebenarnya buku ini berbicara tentang tema-tema yang menarik: dari sisi gelap perjuangan kemerdekaan Indonesia, normalisasi kekerasan, permasala3.25/5
Sebenarnya buku ini berbicara tentang tema-tema yang menarik: dari sisi gelap perjuangan kemerdekaan Indonesia, normalisasi kekerasan, permasalahan mental (seperti PTSD, depresi, anxiety), hingga tujuan dan makna perjalanan hidup itu sendiri. Sayangnya, secara struktur dan penulisan, buku ini terasa begitu kikuk di beberapa tempat; dari struktur prolog yang berantakan, fokus pada karakter yang tidak penting di cerita (Mr. Kamaruddin), penggambaran seksualitas yang usang, hingga klimaks yang terasa timpang dan mendadak.
Mengambil latar di Jakarta pada era setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (akhir 1940-an), cerita berfokus pada Guru Isa, seorang guru sekolah yang bersahaja dan benci kekerasan, serta Hazil, seorang komponis yang beralih menjadi pejuang kemerdekaan. Takdir mempertemukan kedua lelaki ini di kubu perjuangan pemuda Indonesia yang melakukan perlawanan secara sporadis kepada tentara NICA dan Gurkha. Keduanya terikat oleh kegemaran yang sama akan musik. Hazil kerap mengunjungi rumah Isa untuk berbincang-bincang tentang kehidupan dan menggubah musik.
Di sisi lain, Isa sedang mengalami pergulatan batin yang sulit. Setelah menyaksikan kekerasan militer dan baku tembak, ia mengalami trauma (PTSD) dan kegelisahan yang berat. Ia semakin terjepit karena para pemuda pejuang kemerdekaan memberi peranan penting kepadanya, sedangkan berbagai bentuk kekerasan yang kecil pun tidak dapat ia tolerir. Di sisi lain, ia juga terhimpit masalah ekonomi dan rumah tangga yang tidak bahagia. Ditekan oleh berbagai ketakutan dan trauma, kesehatan Guru Isa pun semakin terpuruk, hingga pada puncaknya ia diharuskan ikut dalam misi perjuangan kemerdekaan yang riskan.
Sekali lagi, sebenarnya pergumulan Guru Isa digambarkan sangat baik di sini, terutama pada adegan di mana ia dan Hazil mendiskusikan jalan perjuangan yang tanpa ujung dan berulang, yang saya baca seperti figur Sisyphus dalam mitologi Yunani yang terjebak dalam tugas tanpa akhir. Mereka pun menggubah musik yang terinspirasi dari perjuangan tersebut. Benturan perjuangan individual dan perjuangan kolektif yang tiada akhir dikupas dari dua sisi: sudut pandang Hazil yang optimis dan membara, dan sudut pandang Guru Isa yang dirundung rasa takut dan trauma. Sayangnya, ketika kedua sudut pandang ini ditinjau ulang di akhir, perubahan yang disajikan oleh Mochtar Lubis terasa canggung, mendadak, dan dipaksakan.
Walaupun buku ini memiliki peranan penting dalam sejarah sastra Indonesia (terutama dalam menggambarkan sisi gelap kemerdekaan dan perjuangan batin), secara pribadi saya merasa lelah dengan karya sastra dengan struktur yang timpang dan nada yang sinis. Edisi Yayasan Obor ini juga penuh dengan typo yang parah, di mana pada bagian akhir ada dua paragraf besar yang terulang. Hal ini juga mengurangi apresiasi saya terhadap buku ini.
---
In all honesty, this book speaks about interesting themes: from the dark side of Indonesian independence wars, the normalisation of violence, the mental problems (like PTSD, depression, anxiety), to the purpose and the meaning of life's journey itself. Unfortunately, structurally and technically, this book feels clumsy at different parts; from the messy prologue structure, focus on an unimportant side character (Mr. Kamaruddin), the obsolete depiction of sexuality, to the uneven and abrupt climax.
Taking place in Jakarta during the era after the Proclamation of Indonesian Independence (late 1940's) the story focuses on Teacher Isa, a humble and violence-hating schoolteacher, and Hazil, a composer turning to a freedom fighter. Fate brought these two men together in the Indonesian freedom fighter camp who have been sporadically fighting against NICA and Gurkha forces. Both men were bonded by the mutual passion for music. Hazil often visited Isa's house to talk about life and compose music.
On the other hand, Isa was undergoing tough mental struggles. After witnessing military violence and crossfire, he experienced PTSD and severe anxiety. He got even strangulated by the burden of the vital role given to him by the freedom fighters, all while being unable to tolerate the smallest forms of violence. Moreover, he was in a bind of an economic problem and unhappy married life. Pressured by various fears and trauma, Guru Isa's health took on a plunge, until at the climax he was tasked to accompany a high-risk mission for freedom fighters.
Once again, Teacher Isa's internal struggles were depicted superbly here, especially during the scene where he and Hazil discussing the repeating and endless road of endeavour, which in my reading resembles Sisyphus from Greek Myth who was trapped in an endless task. Both men then compose a musical piece inspired by the endless struggle. The endless clashes between individual struggles and collective endeavours were dissected from two perspectives: the optimistic and fiery Hazil and the fearful and trauma-riddled Teacher Isa. Unfortunately, when these two perspectives were revisited at the end of the book, the change/twist offered by Mochtar Lubis felt awkward, abrupt, and forced.
Although this book has a significant role in Indonesian literature history (especially in depicting the dark sides of independence wars and internal struggles), personally I am exhausted by literary works with uneven structure and cynical tone. This Yayasan Obor edition of the book is riddled with severe typos, where during the last part of the book there is a repetition of two big paragraphs. This also contributes to reducing my appreciation of this book....more
Pulang adalah kisah tentang diaspora, ketidakadilan, dan trauma antargenerasi.
Ketika terjadi pergolakan politik di Indonesia pada pertengahan 1964.3/5
Pulang adalah kisah tentang diaspora, ketidakadilan, dan trauma antargenerasi.
Ketika terjadi pergolakan politik di Indonesia pada pertengahan 1960-an, Dimas Suryo, seorang jurnalis dan sastrawan, beserta ketiga orang kawannya terjebak di luar negeri. Mereka menjadi eksil politik karena tuduhan afiliasi mereka dengan PKI dan Lekra. Di tanah yang asing mereka memulai kehidupan baru sambil berusaha pulang.
Pada tahun 1998, Lintang Utara, putri Dimas, memutuskan untuk pergi ke tanah kelahiran ayahnya. Sebagai bagian dari tugas akhir studi film di Universitas Sorbonne, Lintang berencana membuat film dokumenter tentang penyintas pembantaian orang-orang yang dituduh komunis. Selain itu, ia ingin menjangkau keluarga dan teman-teman yang ditinggalkan ayahnya di Indonesia. Namun, kemelut gerakan Reformasi menjebaknya, dan gejolak sejarah pun terulang.
Paruh pertama Pulang menggambarkan suka duka kehidupan diaspora Indonesia di Perancis, dari berbagai tradisi literatur yang memikat keempat eksil, masakan yang mereka buat, hingga drama hubungan antar keluarga. Paruh kedua mengikat tema-tema tersebut dengan realitas sosial Indonesia yang terjadi di akhir 1990-an, sebuah siklus brutalitas dan kekerasan yang terulang setelah lebih dari 30 tahun. Bagaimana genosida dan pembungkaman terhadap suara-suara oposisi terus menumpulkan budaya dan melukai suatu negeri.
Satu hal yang mungkin bisa meningkatkan buku ini adalah fokus. Beberapa cerita sampingan dan tokoh (seperti ancaman intel di Paris) menjadi sama sekali tidak relevan di akhir buku. Beberapa titik cerita juga terulang dalam format surat.
Di luar itu semua, Pulang adalah sebuah karya sastra yang sangat penting. Buku ini adalah kritik terhadap amnesia kolektif dan penggelapan sejarah. Ia menuntut kejelasan dan keadilan dari sejarah Indonesia yang buram. Ia mengikat dua konflik besar (G30S dan Reformasi 1998) yang masih belum terselesaikan. Ia adalah suara burung-burung camar yang menantikan pulang.
---
Home is a tale about diaspora, injustice, and intergenerational trauma.
During the political turmoil in Indonesia in the mid-1960s, Dimas Suryo, a journalist and poet, with his three friends were trapped overseas. They became political exiles thanks to their supposed affiliation with Indonesia Communist Party and Lekra (People's Cultural Institute). In the foreign land, they started new lives while trying to go home.
In 1998, Lintang Utara, Dimas' daughter, decided to go to her father's land of birth. As a part of her final thesis of film studies at Sorbonne University, Lintang planned to make a documentary movie about the survivors of Communist-accused genocide. Furthermore, she wanted to reach the Indonesian families and friends her father left. However, the turmoil of the Reformation movement trapped her, and the historical chaos repeated itself.
The first half of Home depicted the bittersweet Indonesian diaspora lives in France, from the rich literary traditions which enticed the four exiles, the cookings they made, to the interfamily drama. The second half bound those themes with the Indonesian social reality in the late 1990s, a cycle of brutality and violence which repeated itself after more than 30 years. How genocide and silencing of opposition voices kept blunting culture and injuring a nation.
One thing that might vastly improve this book is a focus. Some side plots and characters (like the threat of intelligence agent in Paris) became absolutely irrelevant at the end of the book. Some plot points also became repetitive in the epistolary format.
Beyond it all, Home is an extraordinarily important literary piece. This book is an indictment against collective amnesia and historical embezzlement. It demands clarity and justice from opaque Indonesian history. It binds two big conflicts (G30S and 1998 Reformation) which are left unresolved. It is the calls of seagulls longing for home....more
Membaca buku ini seperti pulang ke rumah. Tembakau adalah salah satu usaha turun temurun dalam keluarga besar saya di kota M, di mana cerita dala4.5/5
Membaca buku ini seperti pulang ke rumah. Tembakau adalah salah satu usaha turun temurun dalam keluarga besar saya di kota M, di mana cerita dalam buku ini berlatar. Tidak setiap hari saya melihat kampung halaman saya (beserta toko-tokonya yang unik) dan usaha dagang keluarga saya digambarkan dalam karya sastra.
Menceritakan intrik dua keluarga pengusaha rokok kretek, Gadis Kretek adalah sebuah kisah historis yang intim. Djagad dan Idroes Moeria adalah dua keluarga yang bersaing dalam industri kretek di sekitar kota M, Magelang, dan Yogyakarta. Permusuhan kedua keluarga berlangsung hingga dua generasi hingga kedua keluarga berpisah akibat gejolak G30S PKI dan pembantaian tersangka PKI di Indonesia.
Cerita berawal ketika Pak Raja, pemimpin keluarga Djagad dan pemilik rokok kretek Djagad Raja sekarat. Dalam tidak sadar ia menyebut ingin bertemu Jeng Yah, kekasih lamanya. Hal ini menimbulkan kemelut dalam keluarga Djagad karena mengungkit sejarah yang pahit dan misterius di antara keluarga Djagad dan Idroes Moeria. Lebas, anak bungsu Pak Raja, berangkat ke Kudus untuk mencari Jeng Yah dan menyelesaikan apa yang mungkin menjadi permintaan terakhir ayahnya: bertemu kekasih lamanya dan menyelesaikan apa yang belum terselesaikan.
Dari situlah semuanya diungkap. Sejarah kedua keluarga diungkap secara apik oleh Ratih Kumala dengan penggambaran yang kaya dan detail tentang perdagangan tembakau, pembuatan rokok kretek, hingga tonggak-tonggak sejarah Indonesia.
Bagi saya, seluk beluk tembakau dan kretek adalah pesona utama buku ini. Sepanjang membaca buku, saya bercakap-cakap dengan ayah saya yang pengusaha tembakau tentang politik dan rahasia-rahasia dagang yang lekat dengan sejarah dan ekonomi Indonesia, sehingga buku ini menyentuh saya baik pada level intim dan intelektual-historikal.
Di luar beberapa inkonsistensi penulisan, penyensoran kota M yang ganjil, dan alur cerita yang mudah ditebak, buku ini dengan kekayaan kisahnya layak menjadi salah satu kanon sastra Indonesia.
---
Reading this book is like coming home. Tobacco is one of the generational trades in my extended family in the city of M where the story in this book takes place. Not every day I see my hometown (with its quirky shops) and my family trade being featured in a literary work.
Telling the story of two kretek (Indonesian clove-based) cigarette trader families, The Cigarette Girl is an intimate historical fiction. Djagad and Idroes Moeria were two rival families vying for kretek trade dominance around the area of Central Java: M city, Magelang, and Yogyakarta. The enmity lasted for two generations until both families drifted apart thanks to historical turbulence in Indonesia that was Communist coup d'etat and genocide of the suspected Communists.
The story started when Pak Raja, the patriarch of Djagad family and the owner of Djagad Raja kretek, was dying. In his unconsciousness, he mentioned the name of Jeng Yah, his supposed long lost lover. This caused conflict within Djagad family since it poked open a bitter and mysterious history between Djagad family and Idroes Moeria. Lebas, Pak Raja's youngest son, departed to Kudus in Central Java to find Jeng Yah and fulfil what might be his father's last will: meeting his old love and finish the unfinished business.
From there the unravelling began. The history of two families was masterfully told by Ratih Kumala, featuring the detailed and rich lore of tobacco trading, kretek making, and Indonesian historical milestones.
For me, the lore about tobacco and kretek is the main charm of this book. While I was reading, I talked with my dad, who is a tobacco trader, about the politics and the trade secrets of the industry which were inseparable to Indonesian economics and history, that this book reached me on both intimate and intellectual-historical levels.
Beyond some writing consistencies, the weird censoring of city of M's name, and somewhat predictable plot, this book with its rich story deserves a place in Indonesian literary canon....more
Loading...
